Malam ini aku tidak melihat ada bintang. Aneh, belakangan ini benda berkelap-kelip itu hilang tidak menemani dikala watuku berjaga di persimpangan jalan ini. Membuatku penasaran setengah mati apakah Tuhan sekarang membawa mereka pergi. Ah, Tuhan sangat egois mengambil mereka semua tanpa menyisakan setidaknya satu atau selusin untukku karena yang kutahu jumlah mereka sangat banyak hingga membuatmu lelah untuk menghitungnya sendirian. Tuhan pasti lelah menghitung sendirian.
Suara panggilan menyembah Tuhan telah berkumandang untuk yang kedua kalinya malam ini, menandakan sudah terlalu lama meninggalkan emak di rumah karena sejak pagi aku mencari uang untuk makan kami esok hari. Sudah waktunya aku pulang namun malas sekali rasanya. Aku masih betah melihat kendaraan-kendaraan itu berlalu-lalang dan terkadang berhenti di suatu waktu untuk menunggu lampu di hadapan mereka berubah warna kemudian berjalan lagi. Betah sekali rasanya melihat polah orang-orang yang menaikinya. Bagaimana cara mereka memandangi lampu gantung itu atau bagaimana beberapa dari mereka yang tanpa sengaja menatapku.
"Sarto gila! Sarto gila!" Seorang anak laki-laki bertubuh subur dengan sepeda kayuhnya meneriaki namaku sambil melempar botol plastik dan pergi begitu saja. Raga ini tidak terima dan segera berlari sambil menakut-nakutinya hingga dia pergi menjauh. Dongkol hati rasanya saat ada yang memanggilku begitu, karena sebenarnya tidak begitu.
Orang memanggilku Sarto dan aku tidak gila. Aku hanya memiliki cara pandang yang berbeda terhadap dunia. Aku pernah mengecap bangku sekolah berseragam putih merah walau tidak tamat. Aku mahir bernyanyi dan memainkan seruling bambu dengan baik. Memiliki tubuh kurus yang pendek dan wajahku kaku menyeramkan namun bukan orang yang jahat. Aku sering berbicara dengan tetangga di lingkungan kampung tempatku tinggal, meski sering sekali tidak lama setelahnya mereka langsung pergi menutup pintu rumah dengan rapat-rapat. Yang terakhir, aku pernah menikah dan memiliki bayi mungil cantik meski tidak lama setelahnya mereka pergi entah kemana. Sekarang yang tersisa hanya ak dan emak di sini.
Cerita hidupku hampir sama dengan manusia-manusia lainnya. Namun dari sekian banyak manusia yang hidup dan memandang dengan 'kaca mata' yang sama, aku terlahir dengan menggunakan 'kaca mata' yang berbeda. Bersyukur sekali karena emak juga memilikinya, sama sepertiku. Membuatku tidak merasa sendirian.
Lampu gantung di persimpangan itu berubah lagi menjadi merah, membuat kendaraan-kendaraan di sekitarnya berhenti. Seorang perempuan melambaikam tangannya untuk memanggilku.
"Sarto sudah Isya'. Ayo pulang." Ajak perempuan itu sambil memberikan lembar uang ribuan pada stoples yang aku bawa. Ah, ternyata dia salah satu anak dari tetangga di depan rumah.
"Sebentar lagi." Aku tersenyum, berlalu meninggalkannya dan berjalan menuju ke kendaraan lain sambil menyodorkan stoples berisi uang ini pada mereka sambil bernyanyi sekedarnya sebelum lampu gantung itu berubah warna lagi dan mereka pergi.
Terkadang aku berpikir, apakah seluruh manusia harus memiliki cara pandang yang sama terhadap dunia hingga menghukum orang-orang sepertiku yang berbeda ini. Menghukumku dengan cara menghilangkan satu demi satu hal-hal yang menjadi poros hidupku. Contohnya seperti bintang yang belakangan ini menghilang dari atap langitku. Bintang yang sering kupandangi kala malam seperti ini. Lalu orang-orang di atas kendaraan yang berhenti karena lampu gantung di persimpangan ini yang tidak lama setelahnya akan pergi juga. Terakhir istri dan bayiku, poros sejati dalam hidup yang juga ikut pergi.
Sering aku mengandai-andai akan sebahagia apa diri ini bila bintang-bintangku tidak Tuhan bawa pergi, mungkin aku bisa berhasil menghitung jumlahnya. Pernah aku mengkhayal bagaimana kendaraan-kendaraan itu sudah tidak lagi peduli dengan dengan lampu gantung tiga warna dan mulai memperhatikanku, menyapaku dengan baik atau menganggap aku sama seperti mereka. Terakhir, akan sesempurna apa hidup ini bila istri dan bayi kami masih ada di rumah dan menungguku pulang sambil tersenyum riang. Dunia kejam sekali mengambil semua milikku.
Kini yang tersisa hanya emak, orang yang memiliki 'kaca mata' berbeda yang sama seperti milikku. Hal yang masih tersisa di kala satu persatu mulai menghilang. Namun pernah sekali aku berpikir tentang kehilangan yang terakhir ini. Bila Tuhan mengambil emak, akan seperti apa jalan hidupku nanti.
Setelah memikirkan mengenai itu, aku kira air mata ini menetes hanya sekali. Tapi ternyata tidak kunjung berhenti.
TAMAT
---------------------------------------------------------
Maaf atas kesalahan kata dan ejaan yang tidak sesuai EYD yah. Butuh banget kritik dan saran karena cerita ini langsung sekali ketik tanpa ada editing besar-besaran.
Thank you~Sincerely,
ddarknex
KAMU SEDANG MEMBACA
Kaca Mataku Berbeda
Short StoryJika kamu orang waras yang hidup di antara seribu orang gila, maka yang gila bukanlah seribu orang itu melainkan kamu. -ddarknex-