Ji Min mendengus, dengan mata memicing tajam pada Yoon Gi yang sudah sejam ini berkutat dengan laptop di meja kerjanya. Padahal lelaki itu yang meminta Ji Min untuk mendatangi kediamannya, dan ini yang Ji Min dapatkan?
Tiga belas bulan yang lalu mungkin Ji Min tahan dengan kegigihan Yoon Gi terhadap pekerjaannya sampai lelaki itu mengabaikan eksistensinya. Tapi tidak untuk kali ini. Ji Min lelah, tak dapat lagi menekan diri untuk menjadi sosok penyabar yang selama ini ia lakoni.
Tidak untuk Yoon Gi, tidak untuk hubungan mereka. Persetan dengan kedua hal itu, Ji Min bisa mendapatkan yang lebih baik jika ia lepas dari Yoon Gi saat ini juga.
Ji Min menaruh ponsel di genggaman ke dalam tas tangannya, kemudian bangkit untuk menghampiri Yoon Gi yang bahkan tak melirik terhadap gerakannya.
Yoon Gi sialan, rutuk Ji Min dalam hati. Dalam-dalam ia menarik napas, mencoba untuk tak terbakar emosi. Ji Min harus tetap menjaga pribadinya yang selama ini Yoon Gi kenal, pribadi yang manis dan lembut. Meski ia diam-diam bersumpah ingin sekali menelan kepala Yoon Gi utuh-utuh.
“Aku ingin kita akhiri saja semua ini.” Kata Ji Min akhirnya, menatap Yoon Gi yang kini mulai menaruh perhatian padanya. Lelaki pucat dengan rambut pirang itu mengerutkan dahi seraya mengangkat sebelah alisnya. Tubuhnya yang semula lurus pada laptop kini menyamping menghadap Ji Min.
“Apa yang perlu diakhiri, Ji Min?” Balas Yoon Gi dengan suara rendahnya yang terdengar datar, yang seketika saja menyulut bara amarah di kepala Ji Min. Merasa bahwa Yoon Gi menganggap ringan apa yang ia bicarakan.
Ji Min berdecak sebal.
“Aku ingin putus darimu, Min-sialan-Yoon Gi.”
Mendengar penuturan penuh tekanan yang Ji Min tujukan padanya pun sontak saja membuat Yoon Gi ikut terbawa emosi. Dan juga bagaimana cara lelaki itu menyebut namanya dengan menyelipkan umpatan di sana.
“Perhatikan bahasamu, Park Ji Min!”
“Persetan! Aku muak denganmu! Kita putus dan jangan pernah muncul lagi di hadapanku, kau sialan!”
Dengan itu, Ji Min pergi dari kediaman Yoon Gi, meninggalkan pemilik rumah yang hanya terdiam di tempat dengan jemari terkepal erat dan napas memburu.
Sialan, Yoon Gi benar-benar dalam suasana hati yang buruk sekarang. Ia pun kembali duduk dan menatap layar laptop yang kini menggelap karena terabaikan selama beberapa saat. Di sana ia melihat bayangan dirinya sendiri, Min Yoon Gi dengan wajah datarnya namun alisnya yang menukik tajam.
“Setan, aku benar-benar ingin memukul wajahnya dengan laptop ini.”
***
“Kook-ie?”
Jung Kook menoleh, menatap kekasihnya yang memasuki kamar dengan ragu-ragu. Gelagat yang membuatnya memasang wajah bingung namun tetap tersenyum dengan lembut pada sosok yang selama enam bulan menemani juga mewarnai harinya.
“Ya, hyung?”
Tubuhnya yang semula merebah di atas ranjang pun segera ia sandarkan pada kusen ranjang, memberi titah dalam isyarat pada Tae Hyung, kekasihnya, untuk menghampiri. Tae Hyung pun dengan segera naik ke atas ranjang dan ikut menyandarkan diri sambil memeluk Jung Kook di sisi tubuhnya.
“Um, ada yang ingin aku bicarakan.”
“Hm? Apa itu?”
Perlahan Jung Kook meraih tangan Tae Hyung yang berada di atas dadanya, membawanya pada bibirnya untuk ia ciumi punggung tangan yang tampak kurus itu. Perlakuan yang setiba-tibanya membuat Tae Hyung meneguk ludah dan mulai merasa tidak mampu untuk mengutarakan apapun yang hatinya inginkan.
“Kook-ie.” Panggil Tae Hyung lembut, sambil menarik tangannya dari ciuman Jung Kook yang terasa manis itu.
Jung Kook menghela napasnya.
“Ingin putus lagi?” Tanya Jung Kook kemudian, tersirat nada muak dalam kalimatnya—dan itu benar-benar nampak di wajahnya yang menatap malas pada Tae Hyung. Sedangkan yang ditanya hanya dapat menunduk dan mengangguk pelan sebagai tanggapan.
Lagi, Jung Kook menghela napasnya. Dan sungguh ia tak dapat membendung gejolak amarah di dalam dirinya. Hingga tanpa sadar ia berbicara dengan lantang—
“Sebenarnya apa maumu, hah? Dalam enam bulan bersamaku, aku bahkan tidak dapat menghitung berapa kali kau menginginkan putus dariku. Apa yang sebenarnya salah denganku, Kim Tae Hyung? Apa aku kurang memperlakukanmu dengan baik? Katakan!”
—pada Tae Hyung yang kini hanya semakin mengeratkan pelukan pada sisi tubuhnya dan mulai terisak.
“Jangan berteriak, kumohon.” Pinta Tae Hyung yang tak mendapat balasan apapun dari Jung Kook. Lelaki itu tampak membisu dengan pandang yang kosong menghadap langit-langit kamarnya.
Dan dalam beberapa saat yang hanya diisi oleh isak tangis Tae Hyung, Jung Kook akhirnya bersuara.
“Biar kuantar kau pulang.” Jung Kook perlahan melepaskan tautan Tae Hyung pada lengannya, menjauh dari lelaki manis itu untuk beranjak dari ranjang tanpa menoleh sedikitpun.
“Kook-ie.” Panggil Tae Hyung sekali lagi, kini dengan nada yang begitu lirih dan diiringi oleh isakkannya.
-tbc-
KAMU SEDANG MEMBACA
We Don't Talk Anymore • yoonmin | kookv
FanfictionStory by @SleepyMD Masih cinta, tapi gengsi lebih utama.