Kalau boleh aku bercerita, sebenarnya aku mati-matian menepis semua rasa khawatirku. Mengenai sumber daya manusia kami yang tidak seimbang, mengenai konsep, dan segalanya.
Pagi itu, selepas membuka mata, kuurungkan niatku untuk kembali terlelap. Dekap nakasku yang nakal meronta, enggan membiarkanku beranjak. Surabaya sedang bersahabat dengan langit abu-abunya yang manis menggantung. Gerimis mengantarkanku pada sebuah dering yang memaksaku agar segera beranjak, menyusuri Moestopo yang basah.
Baik, aku berangkat.Kususuri jalanan penuh kenangan kami, menuju belahan kampus lain. Mobilnya bergerak lamban, dan aku terbuai dengan suara hujan terakhirku sebelum hilang 21 hari mendatang. Aku terpejam, menghembuskan nafasku berat, meremas tanganku kuat, lalu turun dari mobil.
Setelah menunggu sejenak, acara pelepasan dimulai. Setiap awal yang indah dan menyulut semangatku, dua lagu kesukaanku diputar. Menggema di aula kahuripan gedung rektorat kami. Kami bernyanyi bersama, melantunkan bait-bait doa dan pengharapan untuk negara dan kampus tercinta.
Dipanggil untuk maju ke depan, berikut adalah pahlawan-pahlawanku.
Kau, yang berdiri paling tegar, menyatukan kami yang kadang bercerai berai, Amithya. Sedang mengukir kalimat-kalimat manisnya. Lalu, sepucuk pengharapan akan pelindung kami, yang berdiri paling tinggi, Aldi.
Si pemilik senyum infiniti, dan berharap semuanya sempurna seperti yang kami konsepkan, jangan merunduk lagi, kamu sesempurna yang aku bayangkan, Refah.
Hey, bunga kecil kami, yang punya senyum paling menawan. Sebagai cahaya dan semangat kami, Poppy.
Satu lagi, yang kupikir 'tidak membuat masalah saja' bisa membuatku senang. Kau yang berdiri dengan seribu kekhawatiranmu, hadapi kameranya, dan tersenyumlah, Nis.
Dan aku yang terakhir, sebagai pamungkas, dan mengadakan yang tiada.
Diamlah, prosesi pelepasannya dimulai.Aku masih terdiam, berusaha berdiskusi dengan diriku yang lain dalam hening. Mengerjap, membayangkan bagaimana aku 21 hari ke depan. Apakah akan gelap? Apakah akan sunyi senyap? Aku bohong ketika aku berkata 'Gapapa, santai. Toh cuma 21 hari.'
Aku masih bergeming, ketika sebuah suara halus menyapaku.
Tenang, dan aku suka mendengarnya.Dia, penebar insipirasiku, sedang berbicara di depan. Dengan kacamata dan baju kuningnya. Bersenandung, mengenai tawa, mengenai cerita-cerita tentang negeri gajah. Aku dibuatnya membuka mata. Ceritanya mulai mengikis rasa khawatir ku akan segalanya. Mencari makna akan setiap senyum yang akan kubuat pada dua puluh enam malaikat kecilku besok.
Indah, ini rasanya tidak sabar menjemput esok. Tidak sabar menyaring litani gulungan ombak yang datang. Bertalu-talu dan menarik.
KAMU SEDANG MEMBACA
PELANGI
AdventureAda banyak keterbatasan yang lalu membuatmu jengah. Duduklah, dengarkan aku bersenandung. Mengenai laut yang rindu akan langit.