"Indi, nanti malam kamu ada acara nggak?" Hans, manajer akuntansi yang terkenal dingin dan irit bicara itu tiba-tiba mengagetkan Indi dengan sebuah pertanyaan ajaib. Mau tak mau Indi sedikit tergagap.
"Eh, nanti malam, Pak?" ulang wanita berambut ala pemain bulutangkis Liliana Natsir itu sambil merapikan berkas di mejanya.
Pria berwajah tegas di hadapan Indi hanya mengangguk tanpa mengalihkan matanya dari layar komputer di meja.
Sebenarnya Indi ingin bersikap biasa, hanya saja mendengar pertanyaan yang diajukan pria itu membuat ia sedikit kehilangan kata-kata. Selama beberapa tahun jadi asistennya, Indi tak sekali pun terlibat pembicaraan pribadi dengan Hans. Indi sibuk menerka-nerka maksud dari pertanyaan sang manajer.
"Indi, kamu belum jawab pertanyaan saya," ujar Hans kembali menyadarkan Indi.
"Eh, sa-saya nggak ada acara, Pak."
Hans tersenyum, sangat manis.
"Kalau begitu kamu bisa pergi ke pesta?"
"Pesta?"
"Pesta ulang tahun salah satu rekan bisnis perusahaan." Hans berdiri dari duduknya, lalu menuju meja Indi dan menyodorkan sebuah undangan. Indi menerimanya, lalu membaca tulisan yang tertera.
"Ini undangan untuk dirut, Pak."
"Beliau sedang di luar kota, lalu mewakilkan pada saya, tapi mendadak saya ada acara."
"Jadi saya yang harus datang?"
***
Indi bersiap datang ke pesta ulang tahun rekan bisnis perusahaannya. Seperti biasa, ia hanya mengenakan kaus dan jin. Sapuan bedak tipis dan olesan pelembab bibir cukup dirasa Indi untuk membuat penampilannya terlihat segar.
Indi keluar kamar dan menemukan mamanya sedang sibuk dengan ponsel pintar di tangan.
"Mau ke mana?"
"Ke ulang tahun rekan bisnis si bos."
"Alin sakit, tadi Ikmal telepon katanya butuh uang buat berobat. Tadinya Mama mau ajak kamu ke sana. Mama mana ada uang."
"Ma, bisa nggak, sih, biarin mereka cari jalan keluar sendiri? Mereka itu udah dewasa, usianya lebih tua dari Indi. Nggak semua harus tergantung sama Mama atau Indi."
"Ya abangmu, kan, kerjanya serabutan."
"Ma, hidup itu pilihan."
"Abangmu mana bisa kerja di kantor?"
"Yaudahlah, dia udah menentukan pilihan."
"Hanya orang munafik yang hidup nggak butuh uang. Ikmal selalu mendewakan cinta. Ya begini hasilnya." Suryani menggerutu sambil terus mengusap layar ponsel.
"Mama tenang aja, Indi nggak akan kayak gitu. Indi bakal cari suami tajir, biar Mama seneng. Bisa shopping, nyalon dan jalan-jalan ke luar negeri." Indi berkata dengan suara kencang.
"Lagian untuk wanita sepintar kamu ya udah semestinya dapat suami kaya raya."
Indi hanya menarik napas dan sedikit menahannya sebelum diembuskan. Mamanya masih seperti biasa, mendewakan uang dan segala bentuk materi. Karenanya Indi bertekad untuk mendapatkan pria kaya sebagai pendamping hidup.
***
Indi keluar dari taksi daring tepat di depan sebuah hotel berbintang lima. Ia bergegas menuju ruang pesta tempat diadakannya acara ulang tahun sang rekan bisnis perusahaan. Letaknya di lantai enam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playboy Senior
RomanceIndi tak menyangka akan bertemu Bram, si duda playboy yang tajir melintir. Direstui ibunya membuat Indi begitu sulit menghindar dari jerat pria itu. Sanggupkah Indi melewati hari-harinya bersama playboy senior itu? Lalu bagaimana nasib Alan yang sel...