Perkenalkan, namaku adalah Jay. Aku tidak tahu apakah suatu hari akan ada seorang yang membaca ceritaku ini, tetapi ya sudahlah. Aku akan tetap bercerita untuk, setidaknya, meninggalkan bekas pada dunia bahwa aku dan tuanku pernah hidup di antara mereka.
Dan, ketika kau membaca ini, maka itu berarti aku sudah menyusul tuanku menemui Tuhan di atas sana. Kalau kau membaca ini bukan pada rumah sakit tempat aku bernaung, berarti aku beruntung, karena ternyata ada orang baik hati yang mau membagikan ceritaku kepada publik.
***
Aku tak begitu ingat masa kecilku. Sejauh yang aku tahu, ketika aku masih di sekolah dasar, ibuku sudah tidak ada di dunia ini dan aku hidup hanya berdua saja dengan ayahku. Sebenarnya dia tidak layak disebut sebagai ayah karena perilakunya yang sangat kasar dan tak bermoral.
Setiap kali ayahku pulang, dia akan menikmati beberapa botol bir dan makanan enak di depan televisi. Aku pernah mencoba mendekatinya untuk meminta makan, namun dia justru menendangku, bahkan mencambukku dengan sabuknya saat aku merengek kelaparan.
Akhirnya aku terpaksa meminta makanan ke tetangga-tetanggaku. Mereka sangat ramah, bahkan ibu-ibu di komplek perumahanku selalu menyambutku dengan riang. Hanya di rumah mereka, aku bisa merasakan rasa enak dari makanan yang aku telan.
Tetapi suatu hari, ketika aku masuk rumah dengan gembira, ayahku sudah menghadangku di depan pintu, lengkap dengan sabuk berbahan kulit asli di tangannya. Ia membentakku, mencambukku, dan mencabuliku, sebagai bentuk hukuman padaku karena sudah berani-beraninya melaporkan tentangnya kepada tetangga-tetanggaku.
Aku tidak tahu kalau aku tak boleh bercerita. Siang itu, aku menjerit dan meraung sekeras-kerasnya hingga suaraku habis pada malam harinya. Ayah mengikatku kedua tanganku di ranjang tempat ia tidur. Semalaman aku tak bisa tidur. Rasa sakit dan perih menjalar di seluruh badanku. Sementara aku menangis dalam diam dan dinginnya malam akibat tak mengenakan pakaian apapun, ayah tertidur dengan nyenyak dalam balutan selimut hangatnya.
Hal itu berlangsung selama beberapa hari, aku tidak tahu pastinya karena aku sendiri tak tahu lagi berapa siang dan malam yang sudah ku lewati, sampai suatu hari, tetanggaku yang baik hati datang dengan beberapa orang polisi. Tepat saat aku bertatap muka dengan tetanggaku itu, ia menangis dan memelukku erat. Bahkan dia memberikan sweater rajutnya padaku untuk aku kenakan.
Aku pikir aku sudah bebas. Tetanggaku yang bernama Bu Rene itu merawatku dengan penuh kasih sayang. Namun aku memang terlalu naif. Bagaimana bisa aku berpikir bahwa aku sudah bebas sepenuhnya dari monster bernama ayah itu?
Dia kembali pada suatu malam. Aku tidak tahu bagaimana polisi bisa melepaskannya. Yang aku ingat, keluarga Bu Rene dibantainya habis. Rumah yang biasanya penuh dengan aroma kue itupun menjadi berbau amis darah. Aku menangis sekeras-kerasnya dan entah bagaimana, aku bisa melarikan diri dari ayah.
Aku tetap berlari sekuat tenaga, tidak perduli dengan rasa dingin yang menusukku hingga ke tulang ataupun darah Bu Rene yang mengotori bajuku. Beberapa polisi yang tengah berpatroli sepertinya sudah menangkapnya. Meski begitu, aku tetap berlari tanpa tujuan. Aku tidak tahu aku harus kemana. Aku tidak punya tempat kembali.
Yang menjadi prinsipku adalah, aku hanya perlu berlari.
***
Beberapa tahun aku lalui dengan hidup di jalanan, meminta belas kasihan kepada orang-orang yang kebetulan lewat di hadapanku. Setelah menyadari bahwa aku tidak bisa terus-terusan mengharap bantuan dari orang lain, aku mencoba mencari pekerjaan. Dan memang tidak ada yang mau menerima orang yang bahkan tidak lulus sekolah dasar sepertiku.
YOU ARE READING
Trash Bin
Short StoryApa-apa saja yang aku tulis ketika sudah tak punya ide yang bagus maupun menarik.