awalan

1.4K 108 9
                                    

Jakarta, 25 Mei 2023

Lima tahun lalu, Kinandara Geovanca tak pernah berpikir kalau Ia akan sampai pada titik ini-sesaat merasa ini semua tidak nyata, dalam diam tengah mengapresiasi dirinya kamu berhasil, selamat. Dekapannya pada bouket bunga ditangannya tak pernah mengendur, kian mengerat seiring senyumannya yang terus mengembang tatkala mendapati wajah-wajah lain yang sama bahagianya dengan Ia. Tak masalah dengan gelar cumlaude yang gagal Ia dapatkan, setidaknya Kinan berhasil lulus sesuai target.

Suasana riuh rendah auditorium yang didesaki oleh banyak orang-ada orang tua yang sibuk mengambil figur anaknya dengan penuh rasa bangga yang bisa dipastikan lima menit setelahnya tangkapan gambar itu akan diabdikan diplatform dengan caption "ini anak kebanggaan saya.", ada pula sepasang kekasih yang saling melontar kalimat selamat berulang kali dengan salah satu dari keduanya tengah bersemu dan berakhir saling rengkuh, dan salah seorang perantau yag dirundung pilu ketika sadar Ia harus menikmati momen itu seorang diri-tengah berusaha menarik kurvanya walau tiap sudut ranumnya kentara sekali menyiratkan keterpaksaan disana.

Sekian lama menaruh atensi pada sekitar, pandangannya terhenti begitu figur yang berjalan menghampirinya dari arah jarum jam tiga tengah melambai-kedua matanya tersenyum, terlihat begitu nyaman dipandang sampai Ia dibuat stagnan.

"Kok bengong sih? Yuk sini, duduk bareng."

Detik berikutnya kembali dilumat kesadaraan, membuatnya sedikit tercekat begitu pemuda itu sudah berdiri dihadapannya. Rafa Sebastian menjawil gemas pucuk hidung gadis itu, menyadari semu merah pada pipi Kinan sementara si gadis hanya dapat mengekori tatkala Rafa mengisi ruas jemarinya. Setelah susah payah mengarungi sesaknya auditorium ditambah dengan problematika perihal bawahan kebayanya-akhinya Ia bisa sedikit lebih tenang. Memilih dua bangku paling ujung tampaknya pilihan terbaik.

"Capek gak?"tanya Rafa, begitu kinan sudah benar-benar terduduk."Mama udah sampai dimana?"pemuda itu menyinggung soal ibu Kinan-yang sayangnya akan datang terlambat kemari.

Kinan mengangguk, menyandarkan tubuhnya kemudian menghela nafas panjang."Capek Raf. Gak biasa pakai heels"keluhnya, menuding alasan kaki yang menjadi permasalahannya sedari tadi."Tadi mama udah ngabarin, udah dekat kok. Oh iya, ada jumpa Medi gak?"

Yang ditanya terdiam, tampak berpikir."Gak lihat, terakhir tadi lagi sama Chessa gak tau dimana sekarang."ucapnya.

Ranumnya mencuat sebal."Pacaran mulu dianya."

Melihat respon gadis disebelahnya, pemuda itu terkekeh pelan."Udah, biarin. Dia juga mau bucin kali."

Kinan tak menggubris. Justru terdiam, mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruangan, tampak mengindentifikasi satu-satu orang yang ada disana-lebih tepatnya, tengah mencari salah seorang yang sejak tadi tak kunjung terlihat eksistensinya. Bertanya-tanya dalam diam, apa Ia hadir hari ini?

Ia benci sensasi ini-disaat Ia tak lagi ingin tahu menahu, asmanya terus menerus menghantui isi pikiran, membuat resah sanubari. Si gadis jelas masih mengingat kalimat terakhir yang orang itu yang seolah termaktub didalam kepalanya. Kalimat yang seharusnya membuat Kinan merasa yakin untuk melepaskan segala asa dan rasa yang tertunda.

"Setelah ini, jangan cari aku lagi ya?"

Ia meringis-lebih tepatnya mengasihani dirinya sendiri. Bodoh, siapa suruh begitu lambat menyadari perasaan sendiri? Tak ada guna jikalau Ia menyesal, karena sedari awal yang hanya bisa Kinan lakukan hanya menyesal hingga detik itu juga dan pada akhirnya kembali ditampar oleh kenyataan bahwa pemuda itu tak akan pernah lagi memperlihatkan diri dihadapannya sekeras apapun Ia memohon.

EKSTASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang