Lunara Bulan panggil saja Nara. Remaja setengah dewasa yang pernah jatuh dari ketinggian sepuluh ribu kaki dari permukaan kekecewaan, hancur. Yang jatuh tak akan utuh, sama sepertiku. Aku yang dulu pernah berharap awan biru akan tetap biru, senja akan tetap jingga. Dan lupa pada mendung dan badai, datang dan pergi, janji dan ingkar.
Kekecewaan ini berawal dari sebuah petemuan setiap dua puluh empat per tujuh pada hari Rabu pukul empat sore kedai kopi diujung jalan Braga.
Aku memang sering datang ke sana diwaktu itu. Pada awalnya setiap aku datang semua terlihat biasa saja, masuk-menyapa barista yang kebetulan teman satu kampusku, Pandu. Lalu memesan secangkir Americano tanpa gula setelah itu memilih tempat duduk paling nyaman di kedai ini, tepat disamping jendela utama yang menghadap ke persimpangan jalan Braga. Untuk sesekali melihat suasana riuh kota Bandung atau sekedar melihat beberapa orang berlari dikejar waktu.
Tapi rabu kali ini berbeda aku yang sedang membaca sebuah buku tua karya Chairil Anwar tiba-tiba kedatangan seorang makhluk asing entah dari mana asalnya tanpa permisi dan basa-basi duduk tepat didepanku.
“Nanta, kamu suka baca buku?”
“Ini orang aneh banget, apa sih maksudnya?” dalem hati, sambil melirik dikit ke arahnya.
“Yah ngga dijawab, nih dibaca ya.” memberikan buku ke arahku, dan pergi gitu aja.Dari tadi Pandu yang merhatiin aku dari meja kasir, dengan keheranan dia datang menghampiriku dan tanya siapa cowo yang tadi duduk di depanku. Karena aku sama sekali ngga pernah bawa temen ke sini.
“Siapa Ra?”
“Aku juga ga kenal, aneh!”
“Dikasih buku gitu, masa ngga kenal si Ra?”
“Bener dah Ndu, aneh tuh orang. Nih buat kamu aja” buku yang tadi aku kasih ke Pandu, dan aku juga pergi gitu aja.
“Makasih Ra!”
Dari depan pintu aku menganggukkan kepala dengan sedikit tersenyum.
Aku pulang, memilih berjalan kaki daripada harus berdesakan didalam angkutan umum. Aku memang suka menikmati keramaian tapi tak suka terlibat didalamnya. Menyusuri setiap sudut jalan Braga yang dipadati oleh kendaraan roda empat. Dengan sesekali bertanya pada diri sendiri. Siapa pria tadi? Apa maksudnya? Bagaimana bisa aku bertemu dengan seseorang aneh sepertinya?. Tiba-tiba saja lamunanku tentang pria tadi pecah karena suara klakson mobil, kesal. Tak terasa aku telah sampai di depan pos satpam dekat rumah.
“Malam Pak Agus!” satpam komplek
“Eh mbak Nara! Baru pulang dari kampus mbak?”
“Iya Pak, tadi mampir dulu sih. Duluan ya Pak.”
“Iya mbak hati-hati.”
Sampai dirumah aku hanya di sambut dengan Bi Suti, yang ngurus semua perkejaan rumah. Mama pasti masih sibuk dengan kerjaannya dikantor atau bahkan sedang pergi keluar kota untuk dinas luar. Papa mungkin juga sama. Masuk kamar dengan segala keluh kesah hari ini. Meleparkan badan ke kasur, teman paling mengerti suasana hati. Menatap langit-langit kamar terlintas beberapa pikiran yang tak ingi berhenti dipikirkan. Sampai aku ketiduran.
Pagi hariku masih disambut dengan Bi Suti yang mengetuk pintu kamar mengantarkan sarapan pagi. Tidak langsung ku makan hanya ku pandangi dua lapis roti tawar coklat dan segelas susu coklat yang mungkin masih hangat. Entah kenapa hari ini aku sangat malas untuk pergi ke kampus, biasa nya juga malas tapi hari ini berbeda malasnya mungkin bisa dibilang sepuluh kali lipat. Jam menunjukkan pukul sembilan aku segera bergegas ke kamar mandi, untuk cuci muka dan gosok gigi. Hari ini aku tidak mandi, sudah ku bilang aku sangat malas pergi ke kampus. Karena terburu-buru aku lupa dengan roti tawar dan susu yang dia antar Bi Suti tadi.
“Bi Nara berangkat dulu.”
“Iya mbak Nara, hati-hati”
Aku berlari ke depan komplek untuk mencari ojek atau angkutan umum seadanya yang penting aku bisa cepat sampai kampus. Angkot pagi ini sangat padat, aku berlari ke arah pangkalan ojek untung di sana ada Kang Ucup. Tukang ojek langganan dari SMA.
“Kang ke kampus ya!”
“Iya Neng Nara.”
“Kencengan dikit ya Kang, takut telat.”
“Siap Neng.”
Tak sampai lima belas menit, sampai di depan kampus.
“Makasih Kang Ucup, ini ongkosnya.”
“Sama-sama Neng”
Aku langsung berlari menuju gedung fakultas psikologi. Untung saja saat aku sampai, kelas belum dimulai. Aku langsung memilih tempat duduk paling belakang dan pojok ajar aku bias menyandarakan kepala ke tembok. Kelas berlangsung selama dua jam, setelah itu aku pergi ke kantin untuk mengisi perut, lapar. Aku memesan semangkuk baso dan sebotol air mineral, tiba-tiba saja Pandu datang menghampiriku.
“Hei Ra!”
“Tumben ingat aku dikampus, ada apa?”
“Itu yang kemarin.”
Aku diem dulu, bertanya dalam hati. Ada apa kemarin? Dan masih nggak ngerti maksud Pandu.
“Apaan si Ndu?”
“Nanta, Ra!”
“Nanta siapa?”
“Cowo yang kemarin ngasih kamu buku.”
“Oh jadi namanya Nanta.”
“Kamu ngga kenal dia Ra?”
“Ya nggaklah, tau namanya aja baru sekarang.”
“Demi apa? Nara kamu tuh kuliah dimana sih?”
Pandu kesal setenga mati dengan jawabanku, tapi apa aku salah kalau nggak menganal siapa itu Nanta. Memang dia penting banget ya?
“Emang kenapa si Ndu?”
“Gatau deh Ra, cari tau aja sendiri.”
“Gamau! Aku juga nggak penasaran kok.”
Setelah itu Pandu pergi, ada kelas katanya. Kalau aku udah nggak ada kelas tapi sekarang masih jam satu siang. Belum ingin pulang dirumah pasti hanya ada Bi Suti, bosen. Aku memutuskan untuk berjalan ke Palasari untuk mencari buku dan bernostalgia. Dulu waktu SMA aku hampir setiap hari datang ke Palasari bersama Ian, Raya dan Pandu. Tapi Ian dan Raya memilih kuliah di lain kota, hanya sisa Pandu yang sekarang sibuk menjadi barista di kedai kopi itu. Di Palasari aku memilih berbagai jenis buku, dari yang paling tebal hingga judul yang paling menarik. Saat asik melihat kesana kemari ada seseorang tepat disampingku yang menyapa tapi bukan dengan namaku.
“Hei!”
Hanya menengok dan sedikit senyum terpaksa, dalam hati berguman kenapa harus bertemu orang ini? Apa tidak ada orang lain yang bisa ku jumpai selain dia, Nanta.
“Kamu sedang sariawan ya? Dari kemarin tidak menjawabku.”
“Bukan sariawan, hanya malas berbicara dengan orang aneh.”
“Sudah mau menjawab, jadi sekarang sudah tidak malas ya?”
Orang ini apa sih maunya? Kenapa juga tadi harus ku jawab, bikin repot saja kau ini Nara. Tanpa berfikir panjang aku membayar semua buku yang berada ditanganku lalu pergi begitu saja. Tapi orang aneh itu masih mengikutiku dan melontarkan beberapa pertanyaan tidak penting.
“Kau mau kemana?”
“Apa aku boleh ikut?”
“Jika tak dijawab berarti bolehkan?”
Aku yang kesal akhirnya angkat bicara.
“Tidak!”
KAMU SEDANG MEMBACA
KITA
RomanceJika pena dan kertas saling membantu mencipta cerita, maka aku dan dia saling membantu mencipta rasa menjadi sebuah cerita layaknya manusia dinegeri dongeng. Tanpa pernah mengira dan dikira hati yang tertutup rapat mendapatkan kuncinya. Sebuah rasa...