Ku Rela kau bersamanya

37 3 3
                                    

“ Ku Rela Kau Bersamanya”

(Assalamualaikum, Rey.. bisa kita ketemu di taman dekat rumah besok pagi?)
Mata ku terbelalak melihat pesan singkat itu, dia masih memanggilku Rey? Aku pun mengiyakan dan menemuinya ditaman. Seperti biasa, dia terlihat ceria, humorisnya tak hilang, bedanya dia agak pemalu tak seperti saat kami Aliyah. Aku yang menyapanya terlebih dulu, setidaknya mengurangi suasana bisu. Dia tersenyum mempersilahkan ku duduk dan ku terdiam.  Saat ku ingin berucap, dia terlebih dahulu menyodorkan ku sebuah Ice cream coklat toping oreo kesukaanku. Dia hanya berkata “Rey, apa kamu masih suka ice cream?” aku hanya tersenyum dan mengambilnya. “kamu masih sama ya kaya dulu, hanya tersenyum saat melihat ice cream” lanjutnya tertawa kecil. Jujur aku binggung, kata apa untuk memulai pembicaraan ini. Jantungku, oh tidak. Dia tidak berubah. Berdegup kencang tak terkendali. Sesekali ku melihat langit, suasana hening tanpa pembicaraan. Aku disodorkan sebuah video olehnya. “kamu ingat? Saat itu kamu diam-diam merekam pembicaraan kita setelah lulus Aliyah. Aku pernah janji kan untuk menyangupimu membuat sebuah novel? Ini, aku sudah menyelesaikannya.” Ucapnya memberikanku sebuah bingkisan berisi novel karyanya. “apa ini karya kamu? Asli?” gurauku. “asli dijamin No COPAS! heheh” dia tertawa kecil. Aku hanya menganguk dan membaca halaman pertama.
(teruntuk mu rindu tanpa kata.. Rey)
Aku tak kuasa menahan haru, ternyata dia benar menepatinya. Aku sebisa mungkin menyembunyikan air mata yang terus mendesak keluar. Dan ku beranikan bicara.
“Fa, tujuan aku kesini adalah ingin memberikan ini.” Tanganku bergetar memberikan sebuah undangan.
“ini? Undangan siapa lagi Rey? Aku kemarin dapet dua lho, dari teman Aliyah ki..” bicaranya terhenti saat melihat nama dari calon mempelai wanita adalah Reyfatunnisa. Ya, itu adalah namaku.
“jadi, kamu sebentar lagi mau nikah Rey? “ tanyanya terbata. Aku hanya menganguk tak kuasa.
“aku harap kamu datang ya, Assalamualaikum..” ucapku lalu meninggalkannya dibangku taman.
Aku tak tau harus berkata apalagi kepadanya. Aku sangat lemah dan tak bisa membendung tangis ini. Tak terasa langkahku makin menjauh dari bangku taman itu. Dan air mata ku mengalir begitu saja.
“Rey, tunggu. “ teriaknya membuat langkahku terhenti. Rasanya saat itu aku ingin berlari tanpa menemuinya lagi. Namun kaki ku terasa sangat berat dan tak mengizinkanku melangkah sedikitpun.
“Rey,,” panggilnya lembut. Aku hanya terdiam mematung dihadapannya.
“Rey, jawab aku..” ucapnya lagi.
“kenapa kamu baru datang Fa? Kenapa? Disaat aku sudah bertunangan dengan orang lain dan dua minggu lagi nikah, kamu baru datang? Aku berharap kamu lebih dulu mendatangi orang tuaku seperti janji kamu dulu. Aku nunggu kamu Fa. Katanya kamu mau jadiin aku pacar halal kamu kan? Komitmen kita yang ga pacaran. Dan kamu terlambat. Kenapa Fa?” ucapku tanpa berfikir Panjang meluapkan semua yang ingin ku katakan kepadanya. Aku tak bisa menahan tangisku. Semuanya meledak, hati, rasa dan tangis air mata saat itu juga.
“maaf Rey, maaf aku terlambat. Maaf selama ini aku tak berkabar. Maaf aku..”
Aku tak sanggup lagi mendengar suara dan penjelasannya, aku berlari secepat mungkin. Aku sangat rapuh. Tak mampu berdiri lebih lama dihadapannya. Dan sesampainya dirumah, aku pun segera mengambil wudhu lalu menunaikan sholat sunah dan membaca al-Qur’an, aku mengharapkan ketenangan hati. Aku berdoa semoga diberikan keikhlasan menjalani semua ini. Dan mataku sayup karna terlalu lama menangis dan aku pun tertidur.
Dalam mimpiku, seperti ada yang memanggilku, aku pun perlahan membuka mata. Mengapa bunda menangis melihatku? Tampaknya ini bukan kamarku. Aku pun bertanya pada bunda. Mengapa aku ada disini dan disekelilingku menangis? Bunda terus menerus berdzikir, mengucap alhamdulillah dan memeluk dan mengecup keningku. Aku penuh pertanyaan. Bunda tak menjawab apapun. Iya hanya tersenyum dan sesekali menangis. Aku terheran. Dan mengapa kakiku terasa sakit digerakan? Tubuhku sangat lemas? Dan mengapa tanganku terinpus? Mengapa?? Bundapun menjawab pertanyaanku dengan terbata, “pagi itu bunda dan ayah sedang pergi keluar kota kerumah pamanmu mengantarkan undangan pernikahanmu. Setibanya bunda dirumah, rumah sudah hangus terbakar. Penyebabnya karna konsleting listrik. Dan adikmu, sudah tenang Rey. adikmu tak selamat dan alhamdulillah kamu masih sempat diselamatkan oleh seseorang dan membawamu kerumah sakit. Bunda..” tangis memecah keheningan. Bunda tak kuasa berbicara lagi. Air mata terus berderai dan ku tak henti berdzikir. Aku tak merasakan apapun. Yang ku ingat adalah setelah membaca al-Qur’an aku tertidur beberapa menit dan terbangun. Namun lanjut bunda, aku sudah koma selama dua minggu dan ini adalah hari pernikahanku. Semuanya kandas, calon suami ku membatalkan pernikahan kami karna dokter telah memvonis kaki ku akan lumpuh dan aku yang koma tak ada tanda untuk membuka mata. aku hanya bisa menangis. Ya, menangis Panjang sampai aku berada dititik aku kehilangan semangat hidup. Aku kehilangan semuanya, rumah, adik, dan gagal menikah. Lengkap sudah penderitaanku. Impian ku hancur. Bisaku hanya termenung sepanjang hari. Bunda mencoba membujukku untuk keluar rumah untuk sekedar jalan-jalan, meski dengan kursi roda. Aku menolak dan terus berdiam dirumah nenek karna rumahku masih direnovasi. Aku hanya bisa menangis dan tak jelas arah jalan hidupku selanjutnya. Aku sangat rapuh. Rapuh dan tenggelam dalam luka dan kesedihan. Sore ini, setelah chek up kerumah sakit. Dadaku makin sesak mendengar pembicaraan bunda dan dokter bahwa kakiku akan lumpuh selamanya. Aku hanya menyusahkan kedua orang tua. Aku ingin..
“ingin apa?” tanya seseorang yang duduk disampingku. Mengapa dia bisa dengar suara hatiku?
“ingin ice cream?” ia memberikan ku ice cream coklat dan tersenyum simpul.
“kamu? Kenapa ada disini?” tanyaku memutarkan kursi roda menuju kamar lalu ditahannya.
“rezeki tuh ga boleh ditolak lho Rey..” ujarnya dan membukakan plastic ice cream.
“nih ice creamnya ntar keburu meleleh lho, kan jadi ga enak” lanjutnya lagi. Aku mengalah dan mengambil ice cream itu. Sudah lama aku tak merasakan manis dan dinginnya ice cream. Dan sudah lama aku tak melihatnya setelah pertemuan kita ditaman. Ya, dia Faris Aditya. Seseorang yang telah mengisi lembaran warna warni masa putih abuku.
“aku dengar kamu tak suka ice cream lagi ya, kenapa Rey?” tanyanya antusias.
“aku..” jawabku terbata.
“ketika kamu merasa kehilangan semuanya, apa kamu sadar, kamu telah kehilangan ketenangan? Kamu telah kehilangan dimana kamu untuk kembali bersujud dan berdoa? Hakikatnya kamu kehilangan kepercayaan bahwa semua yang kamu rasakan, kamu sedihkan itu semua sudah digariskan oleh takdir Allah. Aku kesini, ingin kamu berbagi rasa sedih itu. Aku akan menerimanya. Aku ingin melihat senyum itu. Aku ingin melihat semangat itu lagi.”
“Fa, kamu ga ngerti apa yang aku rasain”
“ya, karna itu kamu bisa berbaginya sama aku. Apa kamu akan terus menerus terkurung dalam luka? Kembali Rey, seperti dulu yang sering tersenyum dan ceria, setidaknya untuk diri kamu sendiri. Bukan untuk aku, orang tua kamu ataupun orang lain. Disini masih ada kami yang selalu mendukung kamu. Kamu masih punya keluarga yang sayang sama kamu. Yang peduli sama kamu. Kenapa kamu sendiri ga peduli sama kehidupan kamu? Rey, aku yakin. Allah bersama hambanya yang bersabar, dan ikhlas menerima takdir yang di tentukannya.” Ujar Faris tersenyum, matanya mengembun. Aku tak bisa menahan tangisku. Segera beristighfar. Aku sudah jauh dari Rabbku, aku sangat rapuh dan larut dalam kesedihan. Lagi dan lagi Faris telah meyadarkan ku, seharusnya aku bersabar karna kehilangan, agar aku tak kehilanganNya.
“Fa,, makasih ya,, kamu sudah menyadarkan aku bahwa aku harus tegar dan semangat menjalani hidup ini, makasih Fa..” ucapku tak henti menangis.
“Rey, izinkan aku menghapus air mata mu setiap kali menetes, izinkan aku menemani setiap langkah kemana kamu akan singgah. Rey, izinkan aku menjadi tameng mu saat kamu bersedih. Izinkan aku, menepati janji sama kamu. Rey..” kata itu terhenti, Faris tak berucap lagi sambil menunduk dan perlahan membisu.
Aku tak tau harus berkata apa, lisanku kaku dan tubuhku beku. Entah mengapa aku seolah tak percaya akan ucapannya. Hari itu, dimana dia mengkhitbahku, dalam keadaanku yang seperti itu, aku mencoba menolak namun dia meyakiniku. Semangatku kembali, akupun dibantunya menjalani perawatan hingga aku sembuh dan bisa berjalan kembali. Karna ku percaya bahwa tak ada sesuatu yang mustahil bagiNya. Kembali bersujud kepadaNya adalah ketenangan. Aku bahagia karna masih bisa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah terhadapku. Dan telah menghadirkannya dikehidupanku.

(Cinta bukanlah pengadilan yang membutuhkan bukti. Namun iya berhak memenuhi janji. Untuk seseorang yang ia cintai)

-selesai-
#sckn_rrh

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 04, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

"ku Rela kau bersamanya"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang