Seorang remaja tanggung mengusak kasar surai hitamnya. Sesekali matanya terpejam, sekaligus menutupi wajah dan telinga dengan bantal besar. Berharap ujaran kebencian yang terus mengalun masuk ke indra pendengarannya segera berhenti. Ia mengerang lemah, lantas memutuskan untuk bangkit dari ranjangnya. Mengintip sedikit melalui celah pintu kamar—dua anak adam dan hawa dengan amarah yang sama-sama membludak. Ia jengah. Tak bisakah, untuk saat ini saja ia mendapatkan kasih sayang layaknya anak-anak sepantarannya? Mendapatkan nasihat berupa ujaran manis akan masa depan, atau sekedar kalimat sederhana sebagai penyemangat mengingat ujian kelulusan tinggal beberapa bulan lagi.
Davino Ardhian, putra tunggal keluarga Ardhian. Mencintai musik, terutama piano. Tak peduli banyak yang bilang bahwa piano identik dengan anak perempuan. Selama itu mampu membuatnya nyaman dan tenang, Vino akan tetap pada pendiriannya.
Tentu saja pendirian itu hanya bertahan sebelum kedua orang tuanya melayangkan ujaran kebencian akan kesukaannya yang dianggap aneh. Piano bagi Mama hanya untuk gadis muda, bukan lelaki sepertinya, sementara Papa? Hanya menuruti perintah Mama untuk memindahkan piano milik mereka ke rumah nenek. Jangan tanya kenapa piano itu dibeli jika bukan untuk digunakan. Jawabannya selalu sama, piano membawa petaka bagi keluarga mereka.
Piano untuk gadis sebenarnya hanyalah alibi. Lagi pula menurut mereka, prestasi Vino dalam bidang akademik terlalu mahal jika dikorbankan hanya demi musik.
Mendadak di otaknya terlintas sebuah ide gila. Vino segera beranjak dari sisian pintu, pergi ke depan lemari besar berwarna putih. Mengambil beberapa baju dan kebutuhan lainnya. Meraih dompet dan ponsel untuk kemudian dimasukkan ke saku celananya. Lalu meraih jaket jins yang menggantung di balik pintu. Matanya menatap ke luar jendela, malam semakin larut. Ia tahu, ia lelah, tapi hatinya terus menjerit untuk pergi.
***
"Makan apaan ya...."
Puntung rokoknya dibuang asal. Lalu memaksakan tubuh untuk berdiri meski sebenarnya dirinya sedang benar-benar lemah. Obat miliknya habis, uang yang ia miliki sekarang juga tak cukup untuk membeli yang baru kepada bandar langganannya. Sesekali menepuk perutnya pelan, mengasihani diri sendiri, mengasihani nasibnya kini.
Seorang Ardylan Keyanu terpaksa hidup serba sendiri ditengah hingar bingar ibukota. Dari lahir sudah terbiasa dengan kehidupan keras oleh seleksi alam. Ditelantarkan kedua orang tua yang tak bertanggung jawab di kolong jembatan jalan raya saat umurnya masih dihitung bulan, lalu dipertemukan seorang wanita paruh baya yang rela merawatnya hingga besar. Dylan tahu kerasnya kehidupan kota bahkan sejak umurnya baru sembilan tahun. Membantu wanita paruh baya yang biasa dipanggil 'Oma' untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan bekerja di toko kue. Hingga akhirnya Oma mulai sakit-sakitan dan harus kembali ke kampung halamannya, dirawat oleh anak cucunya yang asli.
Oma berpesan agar Dylan menjadi orang yang sukses dan tekun.
Tapi nyatanya, ia terbuang.
Terlantar, menjadi sampah masyarakat. Keluar dari pekerjaannya tanpa alasan jelas. Hidupnya adalah candu, dedikasinya hanya untuk sebuah barang berbentuk serbuk. Penghilang penat hanyalah kepulan asap tembakau. Dylan total gagal menjadi harapan Oma.
Kakinya menendang asal kaleng di sekitar jalanan, lalu terkejut ketika kaleng tersebut mendarat ke kepala seseorang. Membuat Dylan sedikit merasa bersalah, menghampiri orang tersebut dengan raut wajah sedikit khawatir. Meskipun pribadinya keras, ia tetap bisa merasa bersalah.
"S-sorry, gue gak sengaja, serius."
Laki-laki yang tampak lebih muda di hadapannya hanya mengusap pelan dahi yang terkena ujung penutup kaleng. Laki-laki itu mengembuskan napasnya pelan, lalu tersenyum kecil saat melihat Dylan. "Santai, santai...."
"Nama gue Dylan. Lo siapa? Ngapain tengah malem gini bawa-bawa tas gede?"
Belum sempat laki-laki di hadapannya menjawab, sebuah suara muncul dari arah perut Dylan. Membuat empunya meringis sembari tertawa malu. Lelaki muda itu ikut-ikutan tertawa karena melihat reaksi Dylan yang ditebaknya belum makan.
Maka berakhirlah mereka disini. Di sebuah restoran ayam cepat saji dua puluh empat jam.
"Gue Vino." Laki-laki muda itu membawa nampan berisi makanan berat ke meja mereka.
Dylan hanya mengamati Vino dari atas ke bawah. Tampak seperti manusia berpendidikan. Berbanding terbalik dengan dirinya yang setengah hancur itu. "Masih sekolah ya?"
Vino mengangguk, lalu balik bertanya tentang status laki-laki di depannya kini. "Gue terakhir kuliah, jurusan musik. Tapi putus ditengah. Gak punya uang, cuma punya tempat tinggal kecil, gak kayak dulu." Memang, dulu kan Oma dan Dylan sempat ngontrak di salah satu rumah kenalan Oma. Tapi setelah Oma pergi, karena Dylan tak punya uang untuk melanjutkan sewa, jadilah ia terpaksa angkat kaki dan mencari kos-kosan dengan biaya murah.
Pekerjaan Dylan serabutan. Kadang ngamen, bantu-bantu pekerja bangunan, atau taruhan balap liar dengan minjam motor teman dan hasil yang dibagi dua. Kadang, di bawah jembatan tempatnya tadi beristirahat, ia melakukan pekerjaan lain. Menjadi seorang rapper underground bebas. Biasanya hanya untuk meramaikan pertunjukan musik hip hop. Dengan itu, ia dibayar lumayan karena kualitas suaranya. Tapi karena belum ada nama, masih saja suka dikalahkan dengan rapper underground terkenal lainnya.
Percakapan mereka terus berlanjut hingga Dylan bersedia berbagi tempat tinggal untuk Vino sementara ini. Laki-laki muda itu benar-benar memutuskan untuk kabur dari rumah entah sampai kapan. Niatnya untuk menyadarkan kedua orang tuanya agar tidak melulu bertengkar dan selalu melarang keinginannya. Pertengkaran keduanya selalu dimulai karena Papa terus membela kesukaan Vino, walau sesekali beliau menuruti Mama, tetap saja Papa tak bisa membiarkan kecintaan Vino pada musik terbengkalai begitu saja. Meskipun Mama selalu memaksakan kehendaknya terhadap Vino.
Ditengah jalan menuju kos-kosan Dylan, kedua anak adam itu melihat seorang gadis muda berlari kelimpungan. Dibelakangnya ada tiga orang laki-laki bertubuh tinggi dan besar mengejarnya. Vino melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jam dua malam. Terlalu larut untuk gadis semuda dirinya berkeliaran disini.
Tanpa Vino duga-duga, Dylan langsung berlari menghampiri si gadis muda. Menghajar ketiga pria di belakangnya sendirian.
"Woy bantuin kek!"
Sadar dibutuhkan, Vino datang bak pahlawan kesiangan. Setelah menjatuhkan tas besar di punggungnya, ia langsung membantu Dylan menghabisi ketiga pria itu. Sebenarnya agak sulit, tapi ia bersyukur pernah ikut kegiatan karate di sekolahnya. Begitupula Dylan yang sudah benar-benar terlatih akan kehidupan liar di jalanan, jadi mengatasi orang semacam ini bukan hal sulit.
Ketiga pria itu menyerah. Bekas hantaman tubuh dimana-mana, warna ungu kebiruan turut serta menghiasi tubuh mereka. Darah mengalir dari hidung juga membuat mereka lemah tak berdaya. Setelahnya, lari pontang panting meninggalkan dua remaja tanggung itu.
Vino segera menoleh ke belakangnya. Gadis cantik dengan balutan rok selutut berwarna hitam dan kemeja satin merah hati dengan membawa tas selempang itu tampak ketakutan. Wajahnya terlihat pucat. Vino melepaskan jaket yang tadi ia kenakan, lalu memasangkannya ke tubuh gadis itu. Tak menghindar karena menurut firasat si gadis, laki-laki di depannya ini adalah orang baik.
"Kayaknya bawa dulu. Abis itu suruh cerita." Dylan berkata sambil masih mengawasi sekelilingnya. Lalu dibalas dengan anggukan oleh Vino.
***
Haloooo! Dimohon kritik sarannya ya! Vote komen juga boleeeeh hehe...aku ikut ini untuk event GhibahWriters
KAMU SEDANG MEMBACA
HOPE & DREAMS
Teen FictionIni adalah kisah tentang harapan dan mimpi. Diantara mereka yang terbuang. Empat anak terlantar yang buta akan arah jalan pulang. Empat anak terlantar yang tuli akan kalimat sayang. Empat anak terlantar dengan masalah seimbang berat. Empat anak terl...