Prolog

4 1 0
                                    

Malang, 13 April 2018

Pernahkah kalian mempertanyakan cinta? Apakah itu benar-benar cinta? Atau hanya bualan belaka? Aku pernah. Dulu sekali, ketika aku belum bertemu dengannya. Wanita cantik yang memikat hati. Paras ayu dan senyum manisnya tak pernah lupa membuatku terpana. Sahabat yang kini menjadi istriku. Dia yang tak pernah jemu membuatku jatuh cinta berkali-kali. Dania namanya. Kekasih sempurna dan menantu sempurna.

“Mas, melamun saja. Mikir apa hayo?”

Aku menoleh pada asal suara itu. Kudapati deretan gigi putih terawat dalam balutan bibir merah merekah dan mata coklat yang begitu teduh. Ah Tuhan, ini begitu menenangkan. Dania, kamu adalah rumah bagiku. Tempatku berlabuh dan tak berlayar lagi. Aku tersenyum padanya.

“Sudah selesai rapatnya? Lagi mikirin kamu nih, sayang,” rayuku.

“Sudah 10 menit yang lalu Mas. Tapi aku terpesona sama wajah melamunmu itu. Tapi Mas, jangan sering-sering melamun ah. Nanti kesambet loh…,” godanya.

“Iya, kesambet pesonamu Dania sayang. Pulang yuk!” aku menggandeng tangan mungilnya menuju tempat parkir. Dia hanya tertawa mendengar balasanku. Dan aku jatuh cinta lagi padanya.

Ternyata Toyota Rush putihku sudah terparkir gagah di depan lobi. Aku pun berbelok ke arah lobi sambil tetap menggenggam tangan istriku. Wajah-wajah penuh senyum terlihat disekitar kami. Aku tahu dengan pasti, apa yang ada di pikiran mereka. Pasangan sempurna abad ini. Setidaknya di negara ini. Biarlah aku congkak hari ini, karena nyatanya kami memang pasangan sempurna. Dania melengkapiku, dan aku melengkapinya. Aku bahagia menjadi suamimu, Dania sayangku.

Pukul 5 sore kami tiba di kediaman kami. Sebuah rumah yang cukup besar jika hanya kami berdua yang mengisinya. Langit di barat sudah mulai menampakkan keindahannya. Tuhan, kapankah Kau sempat melukisnya? Menjadi begitu memikat dengan warna merah dan jingga keemasan. Awan awan seakan enggan bergabung, memilih membumbung tinggi tanpa mengganggu cahaya matahari. Langit senja memang selalu indah. Namun hari ini, lebih indah dari biasanya. Kuparkir mobil kesayanganku ini di garasi. Aku turun, dan mendapati Dania, kekasihku sedang membuka pintu.

Punggungnya indah, gerak gerik yang halus. Siapapun yang melihatnya saat ini akan terbayang betapa lembut istriku itu. Dia menoleh, memamerkan deretan gigi indahnya sembari membuka pintu. Aku merasa melihatnya dalam gerak lambat, lambaian angin yang menerpa rambut-rambut tipis disamping wajahnya, kilau sinar matahari senja yang menerpa sebagian wajahnya, dan tatapan mata itu yang selalu membuatku menemukan kembali rumah. Tempatku membagi cinta dengan sepenuh hati. Kalau lah sanggup aku rela aku tak mencintai diriku sendiri, dan kuserahkan segala cinta yang ada untuknya.

Begitu kami sudah di dalam rumah, aku segera menuju kamar. Penat sehari ini ingin segera kubasuh dengan air dingin yang menyejukkan. Ku ambil selembar kaos dan celana boxer, aku butuh kenyamanan untuk menikmati hari. Ritual mandi soreku sudah rapi disiapkan Dania sejak tadi. Wadah garam mandiku sudah nangkring di samping bath tub. Kunyalakan kran air bath tub dan sembari menantinya penuh aku mulai dengan membasuh muka dan gosok gigi. Betapa perhatiannya istriku satu itu, belum pernah rasanya aku dibuat tak jatuh hati lagi dan lagi.

Seusai mandi sore, Dania sudah menyiapkan teh dan pisang kukus. Sebelum jam makan malam datang, aku menikmati betul saat-saat seperti ini. Aku bisa memperhatikan kesibukan istriku di rumah. Dimulai dari pantulan lampu di wajah cantiknya itu.

“Sayang, masak apa nih?” tanyaku penasaran.

“Aku buat sup ayam Mas. Aku lihat kamu capek banget sepertinya. Maaf ya harus jemput-jemput aku terus,” jelasnya.

“Its okay Darl. Jemput kamu itu semudah makan pisang ini, cepet dan bikin bahagia,” candaku sambil menyerahkan piring wadah pisang kukus yang sudah kuhabiskan.

“Cepet banget Mas. Lapar ya?” godanya.

Kami tertawa bersama. Andai kamu tahu Dania, aku rela jemput kamu tiap hari. Aku ingin jadi suami terbaik buatmu.

Setengah jam berlalu. Aroma sup ayam buatan istriku wanginya semakin menggoda.

Dania dengan telaten merapikan meja makan dan menyiapkan makan malam kami. Nasi putih hangat, sup ayam, dan beberapa lauk pendamping lainnya bertengger di atas meja. Menanti menuntaskan takdirnya, mengisi perut dan energi kami.

Suara piring dan sendok berdentingan. Masakannya makin hari makin lezat.

“Mas …,” panggilnya.

Aku menghentikan suapanku.

“Iya sayang, ada apa?” tanyaku kalem.

“Gimana kalau kita program hamil? Aku sepertinya sudah siap punya anak,” tanyanya dengan senyum merekah. Aku melihat cahaya terpancar dari wajahnya. Terkejut dengan pertanyaannya, dan bahagia.

Malam ini, malam paling membahagiakan sepanjang masa pernikahan kami.

Akhirnya Dania mau punya anak, dan aku sudah lama menantikannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hi/Bye!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang