Masa, sih?

23 1 1
                                    

Matahari sudah hampir setengah terbenam ketika weekly meeting Anaya selesai. Memang, setiap meeting mingguan akan berakhir di atas jam makan siang. Bahkan bisa sampai waktu jam kerja habis kalau terlalu banyak yang dibahas.

Anaya membereskan dokumen hasil meeting dan bersiap keluar ruangan ketika si Boss yang lagi tanda tangan dokumen keuangan, berbicara kepadanya, "Nay, coba kamu ngomong sama pak Ujang deh. Untuk barang-barang yang stoknya menumpuk di gudang untuk di-list kemudian kamu update ke saya kira-kira kita mau apakan."

"Baik, pak," Anaya mencatat permintaan tersebut ke dalam notes-nya.

"Oh, sekalian coba kamu tanya ke purchasing yang tadi dibilang sama pak Ade gimana kelanjutannya," lanjut si Boss. Diam, Anaya tak menjawab hanya mencatat.

"Terus, gimana tuh data-data yang harus dimasukin ke sistem yang kemarin kita bahas sama pak Rizky?" Boss menghentikan tanda tangan dokumennya dan menoleh ke arah Anaya. Manager finance yang sedang berada diruangan itu juga ikutan menoleh ke Anaya.

"Tadi kan saya udah update, pak, mengenai hal itu sepertinya kita harus nambah satu orang sebagai admin. Gak bisa kita bebanin ke operasional," Anaya menjawab lugas.

Kebiasaan si Boss, pelupa. Anaya hapal betul kelakuannya yang itu. "Masa sih? Tadi emang kamu ada update mengenai itu?" Boss menimpali jawaban Anaya sedikit ragu. Anaya memutar bola matanya, bosan. Sebelum menjawab dia menghela napas panjang, sengaja, biar si Boss tahu kalau dia sudah lelah menanggapi kebiasaan pelupanya itu.

"Beneran, pak. Tanya aja tuh sama pak Avi, ya kan, pak?" Anaya melempar bola, meminta dukungan kepada manager finance, yang mungkin merasa terjebak dalam situasi ini. Pak Avi harus berpikir cepat, kepada siapa dirinya akan berpihak. Anaya atau si Boss.

"Bener pak. Tadi kan mba Anaya sudah update," pak Avi memutuskan untuk berada dikubu Anaya. Sesama jongos harus saling back-up.

"Terus saya jawab apa?" si Boss bertanya sekaligus menantang. Anaya geram. Ih, gimana sih. Kan dia yang ngasih keputusan, pelupa banget deh.

"Kata bapak, coba diproses ke HRD aja," jawab Anaya cepat. Takut dia akan menanyakan pertanyaan lanjutan. "Masa sih?" timpal si Boss. Anaya refleks membuka lebar mulutnya, siap menjawab si Boss, ketika dia tersadar bahwa tidak ada gunanya untuk menjawab pertanyaan itu. Anaya hanya mengangkat semua dokumen dihadapannya, ketika sambil tersenyum menjawab, "ada lagi yang mau ditanyakan pak Boss? Karena naga diperut saya sudah mulai mengamuk minta diisi makan."

Tak perlu menunggu jawaban si Boss, Anaya ngeloyor pergi. Bodo amat, lo pecat gue deh sekarang!

The Boss BabeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang