Hujan

130 4 0
                                    

Aku berdiri di tepi bukit. Berdiri menantang angin yang meniup helaian rambutku. Kuhirup udara sebanyak mungkin. Udara di atas bukit begitu segar. Masih bersih. Aku mengedarkan pandanganku menikmati pemandangan yang tak pernah berubah. Masih sama seperti 5 tahun yang lalu. Aku juga berdiri ditempat yang sama. Hanya saja keadaannya yang tidak sama. Nuansanya pun terasa berbeda. Aku menarik napasku dengan susah payah. Sesak didadaku terasa semakin menyakitkan. Aku rasa sebentar lagi aku tidak bisa bernapas untuk yang kesekian kalinya.

Flashback,

Aku masih berdiri di samping lapangan basket. Padahal sekolah sudah sepi dari 2 jam yang lalu. Aku yakin, dia pasti terlambat lagi. Sekarang alasan apa lagi yang akan dikatakan nya padaku. Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Setengah jam lebih aku sudah menunggu nya. Aku bisa dengar jejak kaki yang berlari. Terdengar napas terengah-engah dihadapanku. Aku menatapnya tajam. Memper hatikan detail seluruh tubuhnya. Dia tersenyum. Aku semakin menatapnya kesal.

"Maaf ya, gue telat. Tadi ada..."

"Kecelakaan dijalan, macet padat merayap, nenek nyebrang jalan, demo kenaikan BBM, atau tiba-tiba hujan dan akhirnya banjir bandang. Oh, atau ini, kamu menjadi tim SARS dadakan. Alasan mana yang akan kamu kasih ke aku," potongku cepat.

Bukannya menjawab, dia malah tertawa dengan gelinya. Dia memegang kedua bahuku, masih tertawa. Tubuhku ikut berguncang karena tawanya yang tidak berhenti.

"Stefan!" pekikku kesal.

"Maaf. Aku ngga tahu alasan apa yang harus aku kasih ke kamu. Janji hari ini, tadi aku lupa.Makanya aku tadi lari kesini," ujar Stefan masih tertawa kecil.

Aku menarik napas panjang, lalu menghembuskannya keras. Aku hendak berjalan pergi sebelum akhirnya Stefan memegang pergelangan tanganku.

"Yuki, maafin aku ya. Aku janji, ngga akan telat lagi deh. Dan..."

Tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Stefan berlari. Aku masih diam. Dia bahkan tidak mengajakku berlari. Aku semakin kesal. Stefan menghentikan lari nya dan menoleh ke arahku.

"Yuki, ayo lari," ajak Stefan. Aku menengadahkan wajahku. Menikmati setiap tetesan air yang menerpa kulit wajahku.

"Kamu beruntung hari ini hujan. Jadi aku ngga akan marah sama kamu." ujarku keras agar Stefan bisa mendengarnya.

Stefan mendekatiku. Ia menatap lekat wajahku. Rasanya masih sama. Aku selalu merasa gemetar setiap kali ia menatapku. Meski pun aku dan Stefan sudah lama berpacaran. Rasanya tetap sama.

Stefan menarikku ke dalam pelukannya.

"Aku selalu jadi pria paling beruntung karena sudah memiliki kamu. I Love You," Aku memeluk Stefan semakin erat. Kami menikmati kisah kami di bawah derasnya hujan.

Flashback end,

Aku tersenyum saat teringat kenangan tentang dia. Yah, Stefan selalu membuatku kesal karena janji yang selalu ia ingkari. Aku pun tidak tahu kenapa kami dapat bertahan selama 3 tahun. Semua terasa indah dan bahagia, sebelum kejadian itu datang. Kini aku dapat merasakan mataku mulai berkabut. Ada genangan air yang enggan keluar dari mataku.

Dadaku semakin terasa sesak. Sepertinya aku perlu oksigen lebih untuk bernapas.

Flashback,

Lagi-lagi aku dibuat menunggu oleh Stefan. Kali ini aku berdiri didepan sebuah restoran masak an Jepang. Kami sepakat akan makan malam disana. Tapi sampai sekarang Stefan belum datang. Aku mulai merasa kesal. Sifatnya tidak pernah berubah. Dan bodohnya aku bisa menerima kekurangannya itu. Kali ini Stefan keterlaluan. Aku dibuat menunggu hampir 4 jam. Waktu rekor dalam daftar telatnya. Terdengar olehku langkah kaki berlari. Aku menarik napas pelan.

"Kamu keterlaluan. Aku udah nung..." aku menghentikan ucapanku. Karena saat ini bukan Stefan yang berdiri dihadapanku. Napas orang dihadapanku terengah-engah. Ia menatapku lama.Sebelum akhirnya bersuara.

"Stefan kecelakaan. Dia korban tabrakan beruntun. Dia udah di bawa ke rumah sakit, tapi nyawanya..."

Aku tidak bisa mendengar ucapan orang itu lagi. Karena saat ini aku sedang kesulitan untuk bernapas. Dada ku terasa sesak. Tiba-tiba hujan turun. Kali ini aku tidak menenga dahkan wajahku. Aku menunduk. Menangis. Aku menangis sekeras-kerasnya. Aku yakin tidak ada yang tahu kalau aku menangis saat ini. Tubuhku semakin ber getar, antara kedinginan dan tangisanku.

"Kali ini pun kamu beruntung, Stefan. Karena hujan turun saat ini. Aku ngga..."

Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku. Selama ini karena hujan aku selalu memaaf kan semua kesalahan Stefan. Tapi kali ini, aku rasa tidak bisa memaafkannya karena dia pergi meninggalkanku begitu saja.

Flashback end,

Aku merasa tetesan air mulai mengalir membasahi pipiku. Aku tidak menyangka, keterlambatan saat itu adalah yang terakhir untuknya. Aku kehilangan Stefan.

Kehilangannya benar-benar mem buatku terpuruk. Aku tidak bisa menghadapi semuanya sendiri. Semua berubah. Dan sekarang, aku sangat membenci hujan. Membenci basah dan aromanya.

"Apa aku datang terlambat," ujar seseorang dibelakangku. Aku tersenyum seraya meng hapus airmataku.

"Aku rasa ngga," ujarku pelan. Verrel, pria ini berhasil membawa ku pergi dari keterpurukan.

"Ayo kita pulang," Aku mengang guk pelan.

Verrel menggenggam tanganku erat. Hampir setiap hari dia selalu menemaniku pergi ke bukit ini. Hanya sekedar untuk mengingat, Stefan pernah sangat berarti dalam hidupku. Selamanya akan begitu. Dan Verrel, dengan kebaikan hatinya menerima itu.

"Kenapa?" tanyaku pelan.

"Tidak ada alasan yang cukup untuk mencintai seseorang, Yuki." jawab Verrel pelan sembari tersenyum.

"Aku tahu..."  ujarku pelan. Verrel tersenyum.

"Aku juga tahu," ujar Verrel lagi. Kami berdua pun  tertawa.

~ The End ~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang