Bagaikan Kepompong dan Semangkuk Bakso

98 18 1
                                    



Ada lagu yang pernah berkata, persahabatan itu bagaikan kepompong. Tanpa memikirkan lebih jauh bagaimana kelanjutan syair lagunya, aku setuju penuh dengan pernyataan itu. Bila memikirkan kepompong, yang pertama terpikir—setidaknya olehku, pasti kupu-kupu.

Kupu-kupu bukanlah sekadar serangga cantik bersayap rapuh, terbang menari di antara bunga-bunga. Bagiku, kupu-kupu adalah makhluk paling cadas ... hard-core ... paling bad-ass yang pernah ada. Coba bayangkan, setelah berminggu-minggu mengumpulkan energi, mereka meleburkan diri menjadi sup dalam kepompongnya untuk membentuk makhluk hidup dengan penampilan yang sama sekali baru.

Persahabatanku dengan—kita sebut saja namanya: Alpha, kupilih secara asal dari kode phonetic—menempaku yang seperti ulat ini hingga memiliki kekuatan yang cukup untuk bangkit kembali sebagai aku yang baru.

Aku tidak melebih-lebihkan. Oke, mungkin sedikit berlebihan di bagian melebur diri sendiri itu. Namun kenyataan bahwa keberadaanku dulu sering dianalogikan sebagai ulat bulat yang tidak bisa banyak bergerak adalah kenyataan.

Masa sekolahku dulu, julukan: Si Lamban, Gentong, Tambun, Bengong, Celeng,  dan semacamnya sudah menjadi santapan sehari-hari. Walau sesungguhnya nilai akademisku masuk rata-rata kelas, tetap saja para guru dan orang-orang lain yang berkomunikasi denganku selalu terlihat jengkel.

Hanya satu orang yang bisa mengobrol denganku tanpa harus menggertakkan gigi atau berdecak tak sabar. Ya, ... Si Alpha itu orangnya. Untuk ulat sepertiku saat itu, ada yang mau berbicara denganku di luar urusan tugas sekolah saja aku sudah cukup senang.

***

"Gong, nanti istirahat makan di kantin atau bawa nasi?"

Setelah beberapa hari bolos, begitu masuk dia langsung mendatangiku saat makan siang. Sapaannya saat itu begitu ramah dan riang sampai aku tidak sempat protes dengan caranya memanggilku.

Gong di sini sama sekali tidak ada kaitannya dengan alat musik perkusi besar dari kuningan itu, melainkan kependekan dari: Bagong, salah satu ejekan anak-anak sekelas padaku. Kebetulan mirip dengan nama asliku, jadi para guru tidak ada yang menyadari. Mungkin mereka kira itu sekadar panggilan akrab "teman" sekelas.

"Uhhh...."

Aku masih mengingat-ingat, apakah tadi pagi Emak memasukkan kotak bekal ke dalam tas sekolahku atau menyelipkan uang saku ke kantong seragam, ketika—dengan santainya, Si Alpha melingkarkan lengannya di bahuku. Tanpa sempat memberikan jawaban, tiba-tiba saja aku sudah terseret hingga kantin sekolah.

"Aku lagi ngidam makan baksonya Bu Kantin, nih ... tapi lupa bawa dompet. Kamu bayar duluan, ya? Lain kali kuganti...." Lalu Si Alpha langsung memesan dua mangkuk bakso kuah komplet pada Ibu Kantin.

Seketika wajahku memucat. Aku buru-buru memastikan apakah di saku seragamku ada cukup uang untuk membayar dua mangkuk bakso. Untungnya uang itu ada dan cukup. Tidak untungnya, uang itu seharusnya untuk ongkos pulangku nanti.

Terpekur aku memandang mangkuk bakso di hadapanku, sementara Si Alpha melahap setiap sendoknya dengan nikmat. Bagaimana caraku pulang, nanti—hanya itu yang memenuhi pikiranku saat itu. Sejak aku menghilangkan dompet di sekolah (dua kali), Emak hanya memberikan uang saku harian yang jumlahnya pas. Karena itu selain apa yang tadi ada di saku, aku sudah tidak memegang uang sepeserpun.

"Gong, kenapa ... kok diem?" tanya Si Alpha, di sela-sela suapannya. "Kamu nggak suka bakso?"

Masih tenggelam dalam pikiranku sendiri, aku menggeleng.

"YAAAHHH ... Gimana, sih ... kamu ini? Kalau ga suka, bilang dong dari tadi ... udah terlanjur pesen, juga...."

Kemudian, dia menyambar mangkuk baksoku dan mulai melahapnya. Aku hanya bisa terperangah melihatnya. Padahal maksud gelengan kepalaku saat itu adalah: aku bukannya tidak suka makan bakso, aku hanya sedang memikirkan sesuatu.

"Eh, eh ... a-a-anu ... bukan gitu, maksudku!" seruku panik. "Baksonya-...."

"Nggak usah maksain diri, lah ... Gong. Aku kuat, kok ... ngabisin dua mangkok aja sih, keciiil."

"A-a-aku nggak maksain diri!" seruku makin panik. Kalau kubiarkan, bukan hanya ongkos perjalanan pulang, makan siangku pun bakal habis.

"Sudahlah, Gong ... santai aja. Serahkan pada perut karungku!"

"NGGAK ... AKU MAU MAKAN!"

Aku berani sumpah, setelah teriakanku itu kantin sekolah kami mengalami suasana paling sepi sepanjang sejarah tiga tahun aku bersekolah di situ. Lusinan pasang mata memandang ke arah kami. Walau hanya beberapa detik, semua terdiam.

"Iya, iya ... Gong. Bercanda, kok...," ujarnya seraya mendorong kembali mangkuk bakso padaku. "Kubalikin. Gak usah ngegas gitu, dong...."

Mencoba menghiraukan pandangan mata sekeliling, aku buru-buru menghabiskan isi mangkuk. Mungkin aku akan coba menghubungi paman yang rumahnya searah untuk mengantarkanku pulang nanti. Kalau ternyata tidak bisa, terpaksa aku jalan kaki.

"Ternyata kalau kepaksa, bisa juga, 'kan?"

Gumaman terakhir Si Alpha tidak terlalu kupikirkan saat itu.

Hari itu, aku berhasil pulang dengan selamat berkat kebaikan hati pamanku. Namun omelan Emak, berdurasi dua jam non-stop, harus kuterima juga.

***

ChrysalisWhere stories live. Discover now