Penutup

48 14 5
                                    


Setelah itu, tak peduli berapa banyak surat yang kukirim pada alamat yang diberikan oleh wali Si Alpha, balasan yang kuterima hanyalah selembar kartu pos bergambar. Tidak ada pesan apa pun. Hanya nama pengirim, dengan alamat yang sama dengan alamat surat.

Setiap kartu pos selalu ada gambar serangga, kesukaan Si Alpha. Aku bahkan sudah mendapat seri lengkap foto metamorphosis ulat yang berubah menjadi kupu-kupu. Setiap kartu pos yang kuterima, kusimpan baik-baik dalam album foto supaya bisa kulihat-lihat gambarnya di waktu luang.

Kadang, kekesalanku memuncak dan mengirimkan surat penuh makian pada Si Alpha. Kukira dia akan marah dan akhirnya berhenti mengirim kartu pos balasan. Aku sudah pesimis, tetapi rasa penasaran membuatku tetap membuka kotak surat. Di situ aku menemukan kartu pos bergambarnya, seperti biasa.

Pertengahan tahun berikutnya aku pun lulus sekolah, tetapi tidak mengambil ujian masuk perguruan tinggi nasional. Walau Emakku keberatan, beberapa bulan sebelumnya aku nekad mencoba mengambil program beasiswa ke Belanda. Siapa yang sangka aku lolos, biarpun nilaiku peringkat ketiga terbawah. Yang lebih mencengangkan lagi, Emak bersedia memberiku modal untuk berangkat ke sana.

Bukan hal yang mudah memang. Perlu usaha keras untuk meyakinkan Emak, dengan cucuran keringat, darah dan air mata—secara harfiah, karena Emak begitu emosi hingga tidak sengaja melemparkan inhaler oksigennya hingga membuat dahiku lecet. Setelahnya beliau meminta maaf dan membantu mengobati lukaku, tetapi peristiwa itu cukup membuatku terpukul.

Para paman dan bibiku sampai harus turun tangan hingga akhirnya Emak luluh.

Alasan selama ini aku tak berani membantah apa pun yang dikatakan Emak, adalah karena penyakit asma kronis yang diderita oleh beliau. Bila emosinya memuncak atau kondisi tubuhnya menurun, seringkali sesak nafasnya kambuh. Karena itu aku selalu sekuat tenaga untuk berhati-hati dalam bertindak.

Emak yang bersedia menerimaku yang bukan anak kandungnya sendiri ini adalah segalanya bagiku saat itu. Ketakutanku suatu saat akan dibuang oleh beliau, membuatku selalu mengiyakan segala kemauannya. Sekolah pilihan, jurusan studi, buku-buku yang kubaca, makanan, bahkan pakaianku di rumah 100% selera Emak. Biarpun perutku sudah penuh, bila Emak menyuruhku tambah, dengan patuh aku akan mengambil seporsi lagi.

Aku sungguh menyayangi Emak, bukan hanya karena beliau bersedia membagi uang pensiunnya untuk menghidupiku melainkan juga karena Emak memberikan aku kasih dan perhatian yang tidak bisa kudapat dari orang tua kandungku. Namun bila tidak diingatkan oleh Si Alpha, aku akan berakhir sebagai zombie yang tidak memiliki hidup dan keinginan sendiri.

Bila suatu saat Emak pergi mendahuluiku, mungkin aku tidak akan tahu bagaimana harus meneruskan hidup.


***

Dua puluh tahun berlalu sejak Si Alpha menghilang. Aku kembali ke tanah air. Seperti biasa hari itu aku menulis surat pada Si Alpha untuk menyampaikan kabarku. Sudah tahun ke lima sejak aku bekerja sebagai koresponden lepas blog resmi dari sebuah channel ilmu pengetahuan alam yang berbasis di Amerika Utara. Berkat itu aku bisa lebih sering di rumah untuk menemani Emak hingga saat-saat terakhirnya.

Semua kartu pos balasan Si Alpha dikirim ulang oleh bibiku yang kembali tinggal bersama Emak selama aku sekolah di Belanda. Entah kenapa, Si Alpha tidak pernah mengirimkan kartu posnya langsung ke alamat asramaku di sana.

"Gong ... ada pos, nih!" panggil Bibiku.

Aku mengernyitkan kening. Untuk balasan kartu pos Si Alpha, terlalu cepat. Aku bahkan belum mengirimkan suratku. Bibiku kembali memanggil, hingga dengan berat hati kuletakkan pena di tangan untuk mendatanginya.

Yang kuterima bukanlah kartu pos bergambar yang biasa, melainkan sebuah amplop cokelat yang terlihat sangat tebal. Alamat pengirim nya sama dengan kartu-kartu pos yang kuterima selama ini. Alih-alih nama perempuan muda yang menjadi walinya, tercantum nama lengkap Si Alpha juga di situ.

Jantungku berdebar, ada gelenyar perasaan aneh bercokol dalam perutku.

Buru-buru kubuka amplop cokelat itu. Isinya adalah beberapa buku yang terlihat seperti jurnal harian. Selembar demi selembar kubalik halamannya, mencoba membaca secepat mungkin tulisan tangan yang ada di dalamnya. Semua adalah tulisan tangan Si Alpha.

Isi jurnal yang kuterima adalah catatan harian Si Alpha selama ini hingga saat-saat terakhirnya dirawat di rumah sakit. Da didiagnosa mengalami kelainan pada sistem imunnya. Sejak menjelang tahun pertama SMA, Si Alpha mulai sering bolak-balik mengunjungi dokter karena berbagai keluhan yang tidak jelas penyebabnya.

Orang tuanya bahkan mulai menganggap keluhan Si Alpha hanyalah semacam usahanya untuk mencari perhatian, karena dokter manapun yang mereka datangi tidak bisa dengan pasti menemukan penyebab gejala penyakit yang dia derita.sepertinya saat itu juga Si Alpha mulai terang-terangan menunjukkan sikap memberontak dan mulai bertingkah sesukanya.

Mungkin karena tidak mau dianggap lemah, Si Alpha bersikeras tidak mau memberitahu seorang pun di sekolah tentang penyakit yang dia derita. Semacam kebanggaanya yang terakhir.

Mataku memanas. Bercak-bercak noda mengembang karena tetesan air asin, buru-buru kukeringkan dengan kertas tisu. Aku tidak ingin pesan terakhir satu-satunya sahabatku di sekolah dulu jadi tidak terbaca.

*****

ChrysalisWhere stories live. Discover now