1. Begin

21 1 5
                                    

.

.

.

Suara benturan kaleng bir dengan material berkarat di sebuah gang sempit di tengah dinginnya malam kota Seoul memecah keheningan beberapa persekon. Pemuda dengan tinggi sekitar 178 sentimeter itu kemudian mengeratkan jaket tebalnya dan memasukkan kedua telapak tangan kurusnya ke dalam saku , sementara kepulan asap yang menguar dari hidung bangirnya yang memerah semakin tebal.

Segalanya nampak sunyi. Hanya ada suara langkah kakinya yang meremas permukaan salju yang menyelimuti jalan. Keheningan yang hanya berlangsung sementara, sebelum akhirnya tiba-tiba tubuh pemuda itu terhempas sangat kuat. Ia meringis kecil memegangi sebelah lengannya yang terbentur dinding. Kedua hazelnya menyalang, menatap tajam bajingan mana yang berani memperlakukannya seperti ini dari sela-sela poni surai madunya yang berantakan.

Tiga orang pemuda berpakaian serba tebal dengan masker hitam yang hanya menampakkan mata sang empunya tertawa mengejek. Salah satunya kemudian berjongkok di depan pemuda yang tengah menatapnya nyalang. Ia melepas masker hitamnya. Menampilkan sosok pemuda berparas campuran korea-inggris dengan bibir sewarna darah. Pemuda di hadapannya mengerjapkan mata terkejut. Seperti bukan kali pertama mereka bertemu, dan tentunya dalam situasi yang tidak bisa dibilang baik pula.

"Vernon?" permuda bersurai madu itu menerka namanya. Ia ingat persis wajah di hadapannya kini, sekitar dua tahun yang lalu pertemuan terakhir mereka.

"Kau masih mengingatku dengan jelas, Tae Hyung - ssi." Pemuda bernama Vernon menyunggingkan senyuman ramah, lebih tepatnya berpura-pura ramah. Wajahnya putih pucat, kulitnya mulus tanpa cacat. Surai auburnnya bergerak halus tertiup angin, menampakkan bekas luka yang kentara di pelipis kanannya.

Tae Hyung medengus kasar, menciptakan kepulan asap sementara salah satu sudut bibirnya terangkat sinis.

"Kau mau apa? Mau mati? kau hampir mati saat itu dan Kim Nam Joon berbaik hati melepaskan makhluk sampah sepertimu hidup. Dasar penghianat. Kalau aku jadi dia, sudah pasti kau hanya tinggal nama."

"Siapa yang kau sebut penghianat? Aku?" tawa lelaki berkulit pucat itu membahana, sedangkan kedua matanya menyiratkan rasa dendam yang membuncah, "dari awal kedatanganku adalah untuk membunuhmu, asal kau tahu."

Sebelah tangan Vernon menelisip untuk mengambil sesuatu di dalam saku mantelnya. Dan pergerakan Tae Hyung terkunci setelah dengan kurang ajarnya pria bersurai auburn itu dengan cepat menyentuhkan permukaan tajam pisau berukuran sedang tepat di atas urat lehernya. Napas Tae Hyung terkesirap, matanya memerah menahan emosi yang meletup-letup. Otaknya terus berputar memikirkan cara untuk lepas dari posisinya saat ini. Permukaan pisau itu terasa dingin, kemudian menjadi terasa perih seiring dengan Vernon yang semakin menekan benda itu ke permukaan kulitnya.

"Kau membunuh kakakku, sialan!" Taehyung memekik keras, hingga pita suaranya terasa perih dengan aliran bening perlahan terbit dari sudut matanya. Hatinya terlampau sakit.

"Mobil patroli mengarah ke sini!!"

Seorang pemuda yang bertugas mengawas situasi dari ujung gang berteriak, diikuti dua pemuda yang berdiri di belakang Vernon untuk segera masuk ke dalam mobil.

"Selamat tinggal, Kim Tae Hyung."

Dan seketika napas Tae Hyung luar biasa tercekat. Kedua bola matanya menggenang menahan rasa sakit yang luar biasa mengoyak perutnya. Vernon menendang perut Tae Hyung dengan keras sementara Tae Hyung hanya pasrah dengan muntahan darah di sudut bibirnya. Tae Hyung menatap Vernon samar yang kini tengah tersenyum penuh kemenangan dan ketika Vernon mencabut pisau itu dari perut Tae Hyung, ia bangkit dan berlari secepat angin. Meninggalkan Tae Hyung dengan darah yang kini mewarnai permukaan salju di sekitarnya.

Napasnya terengah-engah, tubuhnya luar biasa bergetar. Tae Hyung menggapai-gapai dinding untuk bangkit. Ia tak boleh mati di sini. Dengan sisa tenaga yang ada Tae Hyung berdiri, berjalan terseok memegangi lubang di perutnya agar tak kehabisan darah.

Hingga kemudian sesuatu terjatuh dari saku mantelnya. Sebuah kamera Polaroid beserta beberapa lembar foto. Dengan tergesa-gesa Tae Hyung segera memungutnya.

"Oh, tidak. Jangan. Astaga." Rengeknya begitu frustasi, seolah hidupnya kini bergantung pada benda itu. Tae Hyung memungut satu persatu foto yang tercecer dengan penuh kehati-hatian dan memasukkannya kembali ke dalam saku mantel.

Ia kembali bangkit. Ia harus menemukan tempat untuk singgah sementara agar bisa menghubungi rekannya untuk menjemputnya secepat mungkin sebelum dirinya mati menyedihkan tertimbun tumpukan salju.

***

"Jung Kook-ah, kami pulang duluan, oke?"

"Sukses untuk pentas lusa, golden!"

"Jangan pulang larut malam, sunbae!"

Jung Kook membalas dengan membungkukkan badannya hormat, melambaikan tangan sambil berkata 'hati-hati di jalan' dan 'terima kasih, kalian sudah bekerja dengan keras'. Pemuda dengan surai sewarna langit malam menghembuskan napasnya panjang, kemudian tersenyum senang menampilkan deretan gigi kelincinya yang manis. Bibirnya tipis dan sewarna buah cheri. Balutan sweater turtle neck hangat berwarna putih dan jaket berbahan jeans menampilkan sosok yang manis dan cool di saat yang bersamaan.

Kini hanya ia yang tersisa di sebuah aula gedung teater. Jung Kook melirik jam yang melingkar di lengannya yang menunjukkan pukul 11 malam. Ia duduk sejenak di depan panggung sambil memorinya yang masih memutar betapa meriahnya antusiasme penonton beberapa jam yang lalu. Acara hari ini sukses besar dan tiket untuk pentas piano solonya lusa nanti juga habis terjual.

Jung Kook berjalan menuju mobilnya yang terparkir di luar gedung. Ia menggosokkan kedua telapak tangannya, mencoba mencari kehangatan dari gesekan kecil diantaranya. Udara dingin semakin menusuk membuat Jung Kook akhirnya berlari kecil hingga tangannya kini sampai pada kenop pintu mobil dan membukanya dengan cepat. Namun sebelum ia sempat menutup pintu, tiba-tiba kedua telinganya mendengar suara yang menurutnya sangat aneh. Seperti suara orang yang meringis kesakitan dan terbatuk kecil setelahnya. Jung Kook memutuskan untuk keluar dan memeriksa sekitarnya, mengikuti arah suara itu berasal. Perlahan Jung Kook melangkah ke belakang mobil dan kedua matanya membola kaget ketika menangkap sosok pria dengan darah di sekujur perut dan tangannya.

"H-hei, tu- tuan. Apa kau bisa mendegar suaraku? Katakan sesuatu." Jung Kook menyeka perlahan surai yang menutupi kening Tae Hyung.

"Aku akan membawamu ke rumah sakit, oke? Bertahanlah sedikit lagi!" Jung Kook memegang tangan Taehyung dan seketika napasnya tercekat merasakan tangan Tae Hyung sangat dingin dan juga tubuhnya yang menggigil, Jung Kook semakin panik.

Tae Hyung terengah-engah, tubuhnya kini mati rasa. Taehyung terlihat sangat sekarat.

"J-jangan rumah sakit. Kumohon. B-bawa aku k-kemana saja. Kumohon -" cicitnya lirih dengan seluruh kekuatan yang tersisa.

Namun setelahnya, Tae Hyung tak mendengar apa-apa lagi.

.

.

.

Tbc__

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang