Kehidupanku sempurna. Iya sempurna menurut aku. Meskipun aku tahu, tak ada kesempurnaan selain kesempurnaan Tuhan. Gimana nggak sempurna? Aku bungsu dari lima bersaudara, satu-satunya anak perempuan dalam keluarga. Keempat kakakku laki-laki, bahka usia kami terpaut sangat jauh. Seberapa jauhnya? Percaya atau nggak, selisih usiaku dengan kakak pertamaku 23 tahun. Tapi, kata ayah, bunda, dan kakak-kakak, aku adalah bonus yang Tuhan berikan untuk melengkapi kebahagian mereka. Apakah aku dimanjakan mereka? Jawabannya adalah tidak. Meskipun aku perempuan, tapi aku ingin mandiri. Aku akan sukses dengan caraku sendiri, itulah yang selalu aku ungkapkan ke keluargaku. Dan kekeraskepalaanku soal kemandirian itu, kata mereka itu turunan dari Eyang Akung kami. Aku bahagia hidup diantara mereka. Bersama mereka aku merasa damai. Bersama mereka aku merasa terlidungi, bersama mereka aku tahu apa itu rumah, karna merekalah rumah tempat aku pulang, mereka tempat berteduh terenak dan ternyaman yang Tuhan berikan.
Tapi, sempurnanya kehidupanku hilang hanya dalam satu kesalahan yang tak pernah aku lalukan. Aku lupa bahwa akan selalu ada kata purna dalam setiap kata sempurna. Sempurnaku hilang karna dia masuk ke dalam kehidupanku. Dari sana aku belajar, bahwa sesempurnanya kehidupanku, hanya ada satu kesempurnan yang mutlak, yakni Kesempurnaan Tuhan.
-Zahra Azzalia Zifannya
Sopan, santun, rajin ibadah, itulah aku. Aku di depan orang tuaku. Aku benci dengan kehidupanku. Papa sibuk, mama sibuk, abang pun jauh, aku hidup sendiri. Dari kecil aku lebih sering di rumah sendiri sama Mbok Minah dan Pak Ujang. Rasa-rasanya mereka lebih tahu siapa aku dari pada kedua orang tua ku dan abangku. Percuma aku punya segalanya, harta, tahta, dan bahkan wanita. Buat apa aku punya banyak uang tapi kalau jarang bisa ngobrol sama mama papa? Buat apa aku punya tahta kalau cuma mau ketemu saudara begitu susahnya? Apakah harta, tahta, dan wanita menjamin aku bahagia? Tenti tidak sama sekali. Alhasil, gemerlapnya dunia malamlah yang menjadi teman setia dikala sepi terasa. Wanita, tanpa aku banyak bicara mereka sudah siap sedia. Uangku berbicara kalau sudah soal wanita. Orang tuaku mana tahu dengan penghibur sepi ku ini. Mereka terlalu sibuk dengan dunianya, mungkin juga lupa kalau aku anaknya.
Tapi semua itu sirna, ketika mama, papa, dan abang memergoki aku dengan gemerlap malamku. Kata mereka, "Dapet pelajaran dari mana aku soal dunia hingar bingar ini?". Bolehkah aku ketawa? Ya ... tentu saja bukan dari mereka, tapi sebab mereka. Sampai pada titik dimana papa murka dan mengirimkanku ke salah satu pesantren di Yogyakarta. Sudah pasti aku tidak terima dan aku melakukan hal gila. Entah ini akan berujung nestapa atau bahagia nanti akhirnya. Yang pasti aku lakukan itu semua agar aku bisa keluar dari tempat yang selalu mengingatkanku akan dosa.
-Zidan Mahardika Putra Yusditiro
YOU ARE READING
Dia Istriku
Non-FictionKehidupan rumah tangga yang berawal dari keterpaksaan, bagaimanakah akhirnya?