Ketukan pantopel tebal dibagian tumit itu menggema mengisi kekosongan lorong ber—cat putih gading disisi kanan dan kirinya. Ramai orang berlalu lalang, tidak terlalu menyesakkan tapi termasuk ramai mengingat ini adalah hari biasa dan bukannya hari libur.
Lelaki itu membenarkan letak kacamata hitam yang menggantung lekat pada tulang hidungnya. Tangan yang satunya ia masukan kedalam saku celana dasar hitamnya. Pandangannya menunduk, seperti biasa Min Yoongi selalu menyukai warna gelap ini.
Kaki jenjangnya menyusuri koridor gedung yang dibangun menjulang tinggi ditengah jantung kota Seoul. Setahun yang lalu Min Yoongi menjadikan tempat ini satu-satunya tempatnya berpulang, melepas semua keluh kesah dan juga kerinduan yang seolah membukit.
Gedung yang berisi etalase kaca dan bunga-bunga yang nampak cantik dan terawat. Badannya ikut menghilang pada belokan yang masih terdapat etalase berisi guci dan juga karangan bunga dari kerabat. Ini bukan lagi hal asing bagi Min Yoongi.
Tempat ini adalah tempat berpulang Yoongi setelah sepinggalan Nara. Pakaian yang ia pakai serba hitam, warna kesukaanya termasuk warna terakhir yang mengantar Nara ketempat peristirahatannya.
Min Yoongi terdiam menatap etalase kaca dengan guci apik didalamnya yang setia bertengger tanpa bergeser sedikitpun dari tempatnya. Setia, seperti perasaannya yang terus mengendap di dalam relung hati terdalamnya. Tangannya mengusap halus permukaan kaca, lengkungan tipis itu tercipta dengan manis dibibir tipis Yoongi.
Nama yang bertuliskan Choi Nara lah yang pertama kali Yoongi lihat. Ia lamat menatap figura foto gadis berambut pendek dengan senyuman yang senantiasa terpatri diwajah cantiknya. Demi Tuhan, Yoongi merindukannya. Bahkan setiap hari, merasakan hatinya yang setiap hari pula seperti meledak menelan kenyataan bahwa hanya ia sendiri sekarang.
Tak ada lagi Choi Nara di sampingnya.
Kenyataan ini menjadi siksaan kecil yang lambat waktu menjadi siksaan paling dahsyat bagi Yoongi. Percikan kecil kerinduan semakin hari semakin menggrogoti jiwanya. Tak banyak yang bisa Yoongi lakukan guna melepas segala rasa yang membuncah memenuhi hatinya selain berkunjung dimana rumah Choi Nara sekarang.
Min Yoongi tidak menutup mata dan telinga saat orang disekitarnya menyadarkan bahwa tak ada lagi Nara dihidupnya. Yoongi tak marah, ia hanya bisa menelan pil kesakitan itu sendiri tanpa banyak protes.
Yoongi cukup tau soal itu dan ia memilih bungkam.
"Ra-yaa.. aku datang."
Matanya meneliti rangkaian bunga yang sudah sedikit layu di sekitaran foto. Yoongi tersenyum getir, mencoba menguatkan dirinya sendiri kali ini.
"Kabarku— aku sebenarnya tak baik-baik saja Ra-yaa.. maaf jika aku selalu memikirkanmu. Apakah ini menjadi beban dirimu disana?"
"Aku malu sebenarnya mengungkapkan ini—"
Yoongi menggaruk tengkuknya yang tak sama sekali gatal, berhadapan dengan Nara memang semendebarkan ini. Pada kenyataannya Min Yoongi hanya berhadapan pada secarik foto lusuh milik mendiang kekasihnya.
"Aku merindukanmu.."
"Maaf menjadi memalukan seperti ini. Aku tak bisa berlama-lama di sini, managerku baru saja menghubungiku dan memintaku agar cepat kembali."
Seulas senyum getir lagi-lagi nampak pada bibir merah tipisnya. Min Yoongi tak akan pernah mau menangis lagi, tidak lagi.
"Ra-yaa.. akhir-akhir ini jadwal tidurku kurang baik. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, aku harap kau tidak sedang marah disana. Aku juga akan semakin disibukan dengan Tour yang sebentar lagi akan aku lakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Epouch
FanfictionMin Yoongi terjebak. Min Yoongi tak lagi bisa bergerak dalam lingkaran kesakitan yang ia lukiskan sendiri. Min Yoongi bisa mati terbakar akan keinginan yang bahkan ia sendiri tak bisa miliki. Min Yoongi tak lagi memiliki rumah walaupun hanya sekedar...