Mbandang

141 14 0
                                    

Liburan kini telah berlalu. Pesantren mulai ramai oleh para penghuni, dikarenakan kegiatan mengaji telah dimulai hari ini. Para santri yang pada mudik haruslah kembali ke pesantren lagi sesuai peraturan yang sudah disetujui dan disepakati.

Kebanyakan dan hampir menjadi kebiasaan serta kepatutan, santri yang baru pulang kampung hendaknya membawa oleh-oleh dari rumah masing-masing untuk dimakan bersama teman-teman santri lainnya di pesantren. Sudah menjadi hal yang biasa karena "santri itu saudara", saudara senasib seperjuangan.

Ini yang ditunggu-tunggu, oleh-oleh dari mereka yang baru pulkam. Asseek. Sebenarnya "aku tidak minta oleh-oleh... Emas permata dan juga uang.... Tapi yang kuharap engkau pulang.... Tetap membawa ja....jan...."

(Kembali ke topik)

Saat aku dan teman-temanku duduk santai dan berbincang-bincang, tiba-tiba Rasya masuk ke kamar dengan membawa tas dan bingkisan besar,

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Warga kamar melihat kerah Rasya yang baru datang. Bukan melihat ke orangnya, tapi melihat ke barang-barang yang dibawanya. Kemudian dia menjabat tangan semua yang ada di kamar.

Rasya adalah anak yang paling kecil di kamar ini. Dia masih sekolah di bangku sekolah dasar. Sebenarnya ada lagi yang kecil di kamar ini. Yakni Rangga. Dia satu kelas dengan Rasya. Namun soal umur lebih tua Rangga. Hanya saja tubuhnya lebih besar Rasya,

"Wih, Rasya baru pulkam. Gimana liburannya Ras? Puas nggak?" Kata Noval setelah berjabatan tangan.

"Puas, puas banget." Jawab Rasya.

"Oleh-olehnya lah. Bawa oleh-oleh nggak?" Kata Nurul.

"Bawa, tuh di tas." Kata Rasya menunjuk tas.

"Bukalah." Kata Nurul.

"Ya itu di tas. Ambil aja."

Kamipun makan oleh-oleh dari Rasya bersama-sama. Menikmatinya dengan obrolan-obrolan serta candaan.

Sebenarnya aku bukan warga kamar ini, aku warga kamar sebelah. Di komplek ini ada tiga kamar ; kamar satu tepatnya disebelah timur, kamar dua berada ditengah, dan kamar tiga ada disebelah barat.

Kamarku aku bertempat di kamar tengah. Tapi karena kamarku sedang agak kurang nyaman, panas serta tidak ada kipas angin. Aku main ke kamar yang berada disebelah barat. Yang ada kipas anginnya. Hehe.

Setelah makan oleh-oleh dari Rasya, aku pergi ke dapur untuk minum. Tapi,

"Sandalku kok nggak ada?" Kataku sambil menolah-noleh mencari sandal.

"Jo, kamu tahu sandalku nggak?" Tanyaku pada teman satu kamarku yang bernama Jonathan.

"Nggak, ane nggak tahu." Jawabnya sambil menyinyirkan bibir.

"Ih, biasa aja kalek. Nggak usah nyinyir-nyinyir."

"Siapa yang nyinyir?"

"Tuh bibirmu loh."

"Kenapa?"

"Ndobleh."

"Eh, sialan lu. Awas lu!"

"Larii!!!" Aku lari terbirit-birit tanpa membawa sandal. 'Bodo amat'.

"Yee! Siapa yang mau kejar lu." katanya meledek sambil berjalan santai.

"Siapa juga yang takut di kejar lu. Orang gue mau ambil sandal di sonoh kok. Yee, kepedean." Kataku sambil berlari menuju sandal yang ada di gedung sebelah. Asek sandal nganggur.

Kota SantriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang