let it be.

103 20 2
                                    

disclaimer: tidak ada keuntungan finansial yang diambil dari pembuatan karya ini, yang dibuat untuk kepentingan hiburan semata.

.

.

.


Seulgi melihat para burung itu pulang, meninggalkan orang-orang yang masih antusias untuk memberi mereka makan. Anak-anak berlarian pada ibu mereka, melaporkan burung-burung yang tak lagi bersahabat.

Beberapa di antaranya berlaluan di sekitar Seulgi. Mengepakkan sayap mereka terlalu kencang, membawa angin ke wajah Seulgi.

Senja menggelap menjadi malam, dan area di bawah menjadi lapang. Seseorang menyapu sisa-sisa makanan burung di bawah sana. Di dekat Seulgi, mendarat seekor burung. Seulgi menelengkan kepala, burung dara itu pun turut melakukan hal yang sama. Pelan-pelan Seulgi mengulurkan tangannya, menggunakan telunjuk ia mencoba mengelus kepala burung itu.

Burung itu menunduk, memberi izin. Seulgi tersenyum kecil, terus mengelus kepala si dara sampai akhirnya ia mengulurkan kedua tangannya, memeluk burung itu di kedua telapaknya. Pelan-pelan ia angkat tubuhnya, kemudian melemparkannya dengan ringan ke udara.

Membiarkan burung itu terbang pulang.

. . .

Kai membuka pintu balkon saat langit dilihatnya sudah menggelap, menyisakan warna lembayung yang sayup-sayup.

Tepat saat dia melangkah, Seulgi melepaskan seekor dara. Dengan cepat dara itu meninggalkan Seulgi, terbang ke arah timur, ke tempat sisa-sisa cahaya pada langit yang disapu awan kelabu gelap.

"Kupikir kau sedang di bawah. Di ruang makan."

"Aku sudah kenyang." Seulgi bertopang pada birai, menoleh pada Kai yang melangkah perlahan ke arahnya. Ia kemudian menoleh lagi ke arah yang berlawanan, dari balik tembok yang menghalangi mereka dari kamar sebelah, terdengar tawa yang keras. Seulgi tersenyum. Pasti tawa Irene, pikirnya, lalu ia tertawa juga.

Kai berdiri di sampingnya, menatap pekarangan hotel jauh di bawah sana yang sudah mulai sepi. Di balik pagar tembok tinggi, mereka bisa melihat laut di kejauhan yang sedang bergejolak, camar-camar pulang dengan pekikan. Nampaknya cuaca malam ini akan sedikit kurang bersahabat.

"Atau, kukira kau sedang bersama mereka." Kai mengedikkan dagu ke arah samping Seulgi. Kamar yang diisi oleh teman-temannya.

"Tidak. Aku sedang ingin ... sendirian." Sadar akan apa yang dikatakannya, Seulgi pun menahan tangan Kai, menaruh tangannya di atas punggung tangan Kai. "Tapi karena sekarang kau sudah datang, aku tidak mungkin menolakmu."

"Hari ini hari yang ... 'spesial'?" Kai membuat tanda kutip di udara dengan kedua telunjuknya. "Kau sedang mengenang sesuatu? Karena kelihatan dari wajahmu memang seperti itu."

Seulgi tertawa kecil. "Kelihatannya memang mustahil berbohong di depanmu."

"Aku mengenalmu lebih lama dari yang lain, tahu." Kai pun membalik tangannya menjadi menggenggam tangan Seulgi di atas birai tersebut. "Katakanlah jika kau merasa ingin menceritakannya."

"Tiga belas Oktober," mulai Seulgi dengan ringan, tanpa membuat-buat ekspresi—karena Kai pasti bisa membaca apa yang ada di baliknya. "Aku sendirian di gedung. Saat itu, aku sudah enam tahun jadi trainee. Nilai-nilaiku sedang buruk, aku tidak membuat prestasi apa-apa di latihan dan sekolah. Aku belum punya kepastian tanggal debut, aku bukan orang yang istimewa, aku bukan orang yang luar biasa. Krisis kepercayaan diriku sedang parah-parahnya. Buruk sekali." Seulgi mengamati jari-jari di tangan kirinya, mengepalkan tangannya, merenggangkannya, mengepalkannya lagi, berulang-ulang.

birds in algarveWhere stories live. Discover now