Ke-putus-an

6 1 0
                                    

Terbalut dalam nuansa hijau, surat undangan itu tak banyak dihiasi aksen khas pernikahan. Semuanya terkesan lugas, to the point, juga langsung mengena ke hati. Ke hatiku.

Aku bukanya cenayang level profesional, tapi sudah kutahu persis apa isinya. Aku cuma tidak tahu manakah yang lebih mendominasi perasaanku, sedih atau marah menjadi-jadi yang tak menemukan pelampiasan. Dari dua opsi itu, aku baru sanggup diam.

Kalau air mata, aku jelas sudah kehabisan. Kecuali kalau perempuan berkerudung biru di depanku membagi miliknya denganku. Dia menangis tanpa mengajakku ikut serta, sesenggukan seperti tak bisa ditolong.

Undangan itu dilemparnya ke tanah. Lani harusnya memberikanya padaku, tapi aku paham sepenuhnya itu bukan hal yang bisa dia lakukan. Yang lebih harus kupungut lebih dulu adalah hatiku yang pecah lagi jatuh ke permukaan tanah yang sama.

"Maaf", lirih suara Lani masih bisa kudengar meski suara air mancur di dekat kami duduk terlalu mendominasi.

Aku lebih bisa mendengar apa yang hati Lani katakan, daripada hanya maaf yang beku di mulutnya. Kami telah melalui 4 tahun tanpa terpisah sebagai sahabat yang tiap hari berebut jarum pentul. Aku mengenalnya sebaik dia mengenalku. Aku begitu menyayanginya, sayangnya tak sebaik sayangnya padaku.

-------

Memori hari itu, tidak kami bahas lagi. Selain untuk menghormati perasaanku, aku dan Lani kini terpisah jauh. Hatiku dari hati itu tak dapat kembali sama normalnya seperti semula, tapi kabar baiknya, hatiku telah jauh lebih kuat.

Undanganya, entah kenapa, juga masih kusimpan baik-baik meski telah 5 tahun.

------
"mbak....." parau suaraku harus kutahan karena aku tak ingin membuat heboh sekitar. Antisipasiku untuk hari yang sebenarnya sudah pernah kuramalkan ternyata tak begitu baik. Sakit sekali rasanya menerima kabar yang sekalipun sudah sejak jauh-jauh hari aku ketahui.

'kenapa?', suara dari sebrang telfon terdengar panik.

Keputusanku menelfon seorang teman untuk bercerita atau setidaknya mengalihkan diri dari kesedihan yang paling tak bisa aku atasi, ternyata hanya membuat keadaan kalut.

Aku tak bisa menjelaskan apapun selain tangisan. Kabar ini tidak mendadak, tapi tetap terlalu menyakitkan.Aku tetap tidak siap, cintaku tetap terlalu cetek untuk menyadari bahwa Tuhan punya rencana lain.

------

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 16, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

JalanWhere stories live. Discover now