MASIH (1)

7 1 0
                                    

'Luka terdalam?'

Aku terus mengusap layar ponselku dan kucari gambar wajahnya yang diunggah tahun lalu. Tombol suka pun sudah berwarna merah. Semoga dia tahu, itu adalah foto wajah favoritku. Kuletakkan ponselku masih dalam keadaan menyala. Aku terlelap.

- - -

Aku terbangun dengan nafas terengah-engah dan pipi yang basah oleh air. Mimpi itu kembali berputar sangat jelas, sepertinya otakku ingin aku melihat lagi mimpiku semalam. Kucoba pejamkan mata. Wajahnya. Dengan tawa dan gestur menggandeng tanganku, mengajakku berlari di lorong yang ramai. Aku berhasil berlari di depannya dan melepas gandengannya seolah tak ingin kalah dalam perlombaan lari yang sangat menyenangkan itu. Setelah jauh berlari, kutengok ke belakang namun tidak kutemui dia. Film itu terputar sangat cepat hingga akhirnya dalam satu adegan aku menangis dan mencoba meraih tangannya. Dia duduk dan mengatakan akan pergi. Aku yakin, saat itu aku menangis dalam tidurku. Sampai akhirnya ada lelaki yang menghampiriku, menggandeng tangan, dan memelukku. Film itu berhenti. Kuusap air mata dan mencoba mengatur nafas. 

Ponselku bergetar membuatku reflek mengambilnya. Pesan singkat dari tunanganku. Ia akan menjemputku pukul 7 pagi, katanya. Aku segera bergegas mandi sambil menata hati yang mungkin porak-poranda kembali.

"Selamat pagi," salam darinya membuatku ingin melupakan mimpi semalam.

"Selamat pagi juga, Mas. Kayanya mampir sarapan dulu ya, Mas," ujarku mencoba menetralisir perasaan hati. Mas Elang mengangguk dan memberikan helm padaku. 

Dalam perjalanan, aku tahu hatiku belum bisa kembali kutata. Yang terpikir saat itu hanya Nathan. Padahal kini aku bersama dengan Mas Elang, tunanganku. Kueratkan peganganku pada Mas Elang, mencoba untuk tidak menangis. Lebih tepatnya aku menginginkan Mas Elang mampu lebih kuat lagi menyembuhkan lukaku. 

"Mas."

"Ya? Kenapa, sayang?" tanyanya lembut sambil masih memegang gelas kopi panasnya.

"Aku pengen liburan, Mas. Gerah banget pengen ke pantai."

"Tumbenan kamu, Ta. Boleh. Nanti aku coba cari waktu longgar ya."

"Iya deh. Kasih kepastian ya. Kalo enggak aku mau liburan sendiri nih heheuu." 

Aku terdiam dan menunduk ke arah makananku. Mungkin saat itu Mas Elang sadar perasaan hatiku. Ia meletakkan cangkir kopinya dan menatapku.

"Sudah 4 tahun, Ta. Aku jadi sedih, bingung kalo belum bisa sembuhin hati kamu seutuhnya. Susah ya, Ta. Aku ngerti kok. Tapi aku gak akan nyerah bikin kamu bener-bener mau menatap masa depan sama aku. Nathan, udah jadi kemarin di love story kamu. Sekarang dia jadi temen kita juga dan akan terus begitu di kehidupan kita nanti."

"Yang"

"Beresin dulu, Ta. Kalian harus bener-bener beres. Semakin lama gak kamu mulai beresin, perasaan itu bakal terus ada, walaupun kamu pakai ini," kata Mas Elang sambil memegang cincin di jari manisku.

"Tolong bantu aku ya, yang," ujarku sambil menyeka air mata yang entah kapan ia mulai turun. Mas Elang mengangguk dan mengusap kepalaku.

Setelah sedikit drama di tempat sarapan tadi, ia mulai membuat hatiku lebih menghangat. Memang keahliannya, pikirku. Sudah berulang kali ketika rasa percaya diriku hilang, dengan mudahnya ia bangkitkan. Kini aku sadar apa yang harus aku lakukan.

Sampai di stasiun, aku segera mencetak tiket yang telah kupesan. Aku akan pergi ke Jogja hari ini. Urusan pekerjaan. Ada yang harus kuselesaikan di sana. Keretaku berangkat pukul 9.00. Masih ada cukup waktu sebelum Mas Elang harus kembali ke kantornya. Setelah mencetak tiket, kuhampiri Mas Elang yang duduk di meja Coffee Shop. Ia sedang bersama seseorang. Nathan. Aku tercekat, lagi-lagi perasaanku kembali tidak tertata.

"Loh, Than. Mau kemana?" aku duduk di sebelah Mas Elang dan mencoba bertanya kepada Nathan dengan tenang.

"Ke jogja, Ta. Lo juga ya. Elang nih yang bilang," ujar Nathan.

"Iya. Satu kereta sama kamu tuh, Yang. Ntar tolong jagain tunangan gue di kereta ya, Than. Atiati orangnya rewel," kata Mas Elang. Aku hanya berdesis dan memelototi tunanganku itu.

"Hahahaa, iya loh Lang. Apalagi kalo ngantuk, plus laper. Dah kaya kucing. Miau miau mulu hahahaa," Nathan menimpali Mas Elang dengan santai. Aku hanya memasang wajah sok sebel. Padahal di dalam hati aku ingin menangis. Sejak mimpi semalam, mendengar tawa Nathan seolah membuka kembali memori kami dulu. Di bawah meja, Mas Elang menggenggam tanganku. Aku hanya menatapnya. Kurasa ia tahu apa yang ada dalam pikiranku. Kueratkan genggamanku pada Mas Elang dan dibalas tatapan lembutnya yang seolah mengisyaratkan aku pasti bisa, aku harus kuat, meyakinkan bahwa ia tetap di sini menantiku untuk benar-benar bisa sepenuhnya bersamanya.

Pukul 8.15 Mas Elang harus segera berangkat ke kantornya. Ia berpamitan pada Nathan dan aku. Aku meninggalkan barangku di meja dan mengantarkan Mas Elang ke depan pintu. Ia mengusap lembut rambutku dan mencium dahiku.

"Hati-hati, Yang. Aku bakal kangen gak ada yang nemenin atau tiba-tiba bawain makan siang ke kantor nih. Huhuhuu."

"Ih tiba-tiba manja gitu. Cuma 4 hari kok yang. Kalo bisa cepet selesai biar cepet pulang. Emangnya cuma kamu yang kangen welk," kataku dengan senyum melebar. Rasanya aku tidak ingin berpisah darinya. Mas Elang memelukku sangat erat dan kembali mengecup dahiku.

"Dia satu gerbong sama kamu. Ke tujuan yang sama. Kalo kamu mau, pakai kesempatan ini ya, Yang. Ini demi kamu, juga aku. Karena sebenarnya kamu juga berperan atas hatimu sendiri," ujarnya sangat lembut sambil menyeka air mataku.  Aku mengangguk. Mas Elang melambaikan tangan pada Nathan kemudian berjalan pergi. 

Setelah tak kulihat lagi punggung tunanganku itu, aku berjalan mendekati mejaku. Ada Nathan di sana. Aku harus bersikap biasa.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 18, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MASIHWhere stories live. Discover now