・blossom・

951 110 128
                                    


Blossom

BTS fanfiction

Characters belongs to themselves, BTS belongs to Bighit

MinV

Taehyung-centric

.

.

.

.




Jimin sedang menulis. Dia yang duduk memunggungi jendela itu nampak seperti sedang dipeluk matahari. Ada cahaya berpendar kekuningan di tepi bahu dan ujung-ujung rambutnya. Wajahnya tenang. Seulas senyum tipis ia sunggingkan. Aku tak tanya apa yang sedang ia tulis kala itu. Aku hanya menebak, mungkin saja dia sedang menulis bagian yang bagus atau membahagiakan. Sebab ia hampir selalu menunjukkan suasana cerita lewat wajahnya. Kalau suasananya sedih, dia akan merengut, terkadang dia mendecak-decak sendiri kalau ceritanya masuk ke bagian yang mengesalkan. Saat itu aku hanya memandangnya dari kejauhan. Jimin tak suka diganggu. Tak hanya ibadah, menulis juga mesti khidmat, katanya. Jadi aku biarkan saja dia dengan dunianya sendiri, sementara aku menyesap teh, setengah berbaring di atas sofa. Aku mencoba tidak bicara, atau mengomentari dia yang tak juga beranjak dari kursinya sejak subuh.

"Uhuk-uhuk." Jimin terbatuk. Batuknya kering. Dia menangkap mataku. Saat tatapan kami berserobok, dia melepas kekeh kecil. "Maaf."

"Tenggorokanmu masih sakit?"

"Ya. Masih gatal."

Dia kembali pada kertasnya. Ujung pena dia gunakan untuk memainkan bibir. Sebetulnya Jimin mengeluh sakit tenggorokan sejak beberapa minggu lalu. Biasanya sakit ringan macam begitu akan sembuh paling lama setelah dua minggu. Dengan bantuan obat, akan lebih cepat sembuhnya. Tapi Jimin orang yang anti obat. Dia tak suka pahit. Dia bahkan menolak untuk minum teh herbal yang kubelikan. Padahal kata nenekku itu manjur.

Percakapan kami tak berlanjut. Aku kembali menyamankan diri di sofa. Teh kusesap lagi. Bunyi pena yang membentuk huruf terdengar berirama. Tangan Jimin bergerak cepat. Tulisan tangannya tak bisa dibilang bagus, malah kadang seperti ranting kurus yang patah-patah. Tapi dia tak peduli dengan estetika di atas kertas. Katanya asal semua yang dia pikirkan tertuang saat itu juga, dia sudah puas. Dan ya, tugaskulah untuk menerjemahkan bentuk-bentuk tak jelas itu menjadi tulisan rapi. Aku menyalin cerita-cerita yang Jimin buat, untuk kemudian diedarkan ke penerbit setempat. Cerita pendeknya banyak diminati. Nama samarannya terpampang di banyak surat kabar. Anak-anaknya memang cantik sehingga orang-orang mau meminang mereka.

Jimin memiliki banyak uang dari usahanya mengomersilkan anak. Dia ayah yang kaya. Hanya saja, si kaya ini tak begitu suka berfoya. Dia lebih suka menulis. Paling-paling, uangnya dibelikan bibit bunga untuk ditanam di kebun belakang rumah. Kurasa sebanyak apapun uang yang ia miliki, ia akan tetap duduk di kursi itu untuk menenggelamkan diri dalam dunia karangannya.

Dua jam berlalu. Jimin menaruh pena. Dia menghempaskan punggung ke kursi. Aku tahu dia lelah. Bukan lelah badan, tapi lelah pikiran. Mungkin aliran ide di kepalanya sudah surut. Dia mau berhenti sejenak.

"Kau mau baca?" tanyanya. Aku mengangguk.

Jimin tak sedang menulis cerpen, melainkan novel. Itulah mengapa aku begini santainya. Aku mesti menunggu sampai novelnya selesai barulah bisa menyalin. Suatu kali aku pernah minta supaya dia serahkan naskahnya per bab saja, jadi tak makan waktu lama untuk disalin, karena setidaknya aku bisa menyicil. Tapi Jimin tak mau. Katanya dia tak yakin bab-bab yang sudah ditulisnya itu sudah benar-benar mulus atau belum. Kalau sudah kusalin, sayang untuk dicorat-coret.

Blossom [pjm・kth]Where stories live. Discover now