mengapa harus berbeda

6 0 0
                                    

Hay namaku Intan, aku tinggal di tengah desa yang tak jauh dari hingar bingar kota. Aku punya dua adik juga satu kaka, seperti orang pada umumnya, kalo di desa ya wajarlah anak banyak, bukan karna tak kenal KB tapi orang di sini lebih suka punya anak banyak, buat di pamerin pas kondangan. kini hari sudah sore, ya sore masih sudi menyapaku meski aku tak menunggunya, aku lebih suka tak ada senja agar keluargaku tak berkumpul di satu meja. Kebanyakan orang memang menunggu di mana waktu untuk bercanda tawa di tengah ruangan, tapi ngga untuk aku, Aku lebih suka suasana malam yang sepi tanpa celotehan keluarga reang. "Tan.. lagi ngapa si?". Aku yang tengah terduduk di atas kursi roda hanya menyambutnya dengan balasan senyuman bingung dengan jawaban. "orapopo". jawabku singkat yang sudah tau ujung pencarianku oleh wanita yang sedikit muda. "Meh ngeneh metu ojo nang kamar wae!" perintah Ibuku tegas, aku hanya menurutinya meski kadang berat karna terkadang guyonan merekalah yang membuatku merasa iri dengan adik dan kakaku, selalu mereka berbahagia dengan cerita seru di luaran sana, sedangkan aku hanya mendapati cerita serupa selama delapan belas tahun. Bukan hal mudah menjumpai cerita yang sama untuk jangka hidup yang tak tau sampai kapan. Aku mengikuti langkah kaki ibuku yang perlahan habis di depan Tv, dia berhenti dan langsung mengambil posisi seperti biasanya ia duduk. "Bu masa mau pada ketawan kabeh gole nyontek." awal pembicaran yang sebenarnya aku tak tau namun karna sering di sebut dan di lakukan adiku membuatku paham jka nyontek itu adalah salah satu proses pemintara dalam membodohi diri sendiri. sering kali aku melihat adiku yang kurang pintar itu rajin membuka buku dan menyobek kertas tulisnya, dia membuka setiap lembar lembar buku dan menirunya dalam bahasa dan ukuran yang amat kecil bahkan untuk membacanya membutuhkan kaca pembesar. "Lha koe pie melu ora nyontek?" ibu mulai penasaran dengan cerita adikku di kelas. Namun tedi hanya tersenyum pahit sebagai tanda jika dirinya masuk pada nominasi manusia yang ketahuan itu. "lhee cengar cengir ujare ngganteng banget mbok, dadi bocah di sekolahna bukane ben pinter malah tambah ndableg."kakaku yang awalnya diam dan fokus melihat hpnya kini mulai ikut fokus dengan cerita tedi. "ke deleng hana."sahrul mengacungkan jarinya pada sosok gadis yang tengah duduk membelakangi tv dan tengah sibuk belajar. "heleh pinter tapi sombong, pelit,mblekitit,urip ra ana guna too bang." merasa tak terima dengan pembadingan yang amat jauh membuat tedi merasa kesal. "Lho bener mbok kakangmu, koe di sekolahe kwe ben piter dudu ben keton gobloge."melihat tedi yang mulai menaikan suara membuat ibu ikut berunding kembali. "Lha nyatane bodo ya bodo bae, priwe arep pinter nek bocahe mesih bae angel sinau, neng kene sing bisa dadi wong sukses ya mun aku, wis pinter,ayu,normal.."belum selesai melanjutkan bicara hana terhenti sejenak karna merasa jika ucapannya sudah melebihi batas pembicaraan. mendengar hana mengatakan itu bukan kali pertama mungkin sudah bisa untuk menghitung banyaknya bintang di atas sana, aku beranjak pergi bukan karna marah tapi karna memang aku merasa sudah tak ada lagi bahasan yang patut untuk aku dengar, terkadang ibuku hanya ingin aku tau pengalaman di luar sana yang hingga saat ini masih mengunci diriku di atas roda. Tapi kadang mereka lupa jika aku kadang merasa iri dan mencoba menghapus sekuat tenaga rasa iri itu, tapi mau hilang bagaimana jika aku di larang berhenti mendengar hal-hal seru yang kadang aku merasa jika itu hanya hayalan. kadang dalam hati aku mengatakan jika nasibku tak jauh dari bulan yang menatap iri pada bintang yang memiliki sejuta cerita di setiap malamnya, dan bulan hanya menjadi pendengar setia yang tak bisa menambaih seucap katapun. Anda saja aku hidup di bulan, mungkin saja aku dan bulan akan jadi kaka adik yang sempurna, yang sama sama terkunci oleh takdir sang pencipta. waktuku habis di telan malam, tapi aku lupa jika aku masih gadis yang kadang di godai oleh nyamuk di halaman depan, "tan wis wengi mlebu si." perintah kakaku yang tau jika aku kembali lupa waktu, "iya mas." jawabku sngkat dan mencoba memutarka roda di bawah kursiku, "haduhhhhh, ngerti angel mesih bae dadi tempat favorit." menyadari jika adiknya tengah kesusahan dia langsung mendorong kursiku yang sudah terpantek batu keriukil kecil, tak sampai di situ kakaku juga menggendongku untuk berpindah posisi di atas kasur yang menurutku tak ada empuk empuknya sama sekali. namun siapa peduli dengan wanita yang sudah tak kecil lagi, jam sudah menuju arah sebelas malam, ya seperti biasa aku tak akan bisa tidur sebelum melewati jam itu.

"Kluntang..." seperti biasa jika jam emapat ibuku sudah menghasilkan suara di dapur bukan masak di dapur ya tapi kebiasaan salah masuk, biasanya di jam segitu dia membangunkanku tapi selalu saja menyasar dan menabraki setiap prabotan di dapur, ya inilah rutinitasku, aku hanya menjadi pembantu untuk mengisi perut adik dan keluargaku yang lain, ya meski tak pernah mengatakan secara langsung tapi aku sadar jika di keluarga ini aku hanya menjadi pelengkap dalam keluarga, hak hakku tak ada yang di penuhi, entah itu pendidikan yang layak, di kenal tetangga dan lainnya. Kali ini aku masak seadanya. hanya ada nasi sisa kemarin di raiscooker yang masih di colokan ke stopcontak, aku mengambilnya dan mencoba membuat nasi goreng, kadang aku mengira nasi goreng adalah masakan orang bodoh, bagai mana tidak bodoh nasi sudah mateng masih saja harus di goreng. "semuanya sudah selesai ya selesai semuanyaaaa!"gerutuku dalam hati, aku gagal masak karna ternyata gas sudah habis dari kemarin tapi lupa memberi tahu pada khalayak umum. semua orang sudah bangun namun aku menmilih kabur karna tau jika mereka semua bangun pasti hanya mencari makanan bukan mencari aku terlebih hana, dia adalah waita kecil yang porsi makannya bukan lagi anak kecil tapi layaknya sumo yang siap bertempur.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 20, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Mengapa harus berbedaWhere stories live. Discover now