Malam ini gemerlap kota mulai berkurang, Lampu-lampu dimatikan menyisakan lampu jalanan sebagai penerangan. Toko dan jajarannya sudah mematikan penerangannya dan membalik tanda menjadi 'tutup', terkecuali kedai kopi dibarisan barat jalan raya.
Yone, namanya. Kedai kopi dengan aneka sajian berkualitas dan pas dikantong itu belum juga terlelap. Masih ada 10 pelanggan yang memenuhi setiap sudut meja. Denting gelas dan canda tawa memecah keheningan, sekumpulan anak muda beradu ujung cangkir dan meneriakkan 'Cheers' entah apa faedahnya, rupanya mereka sedang bersantai setelah kurang lebih 3 jam berkubang dalam persiapan rapat senat.
Lantunan sajak dari Sapardi Djoko Damono keluar dari mulut seorang penyanyi, dan gitar yang sesekali dipetik sesekali digenjreng secara bersamaan, menyusup ke dalam malam yang kelam kelimut.
Enam anak senat mulai menyudahi acara santainya dan beranjak pulang. Menyisakan empat pelanggan yang duduk berjauhan, kelihatannya ada tiga pengunjung baru, namun ada satu pengunjung lama. Dari kejauhan menguar bau segar, aku menghidu, dia beraroma mint, entah siapa namanya.
Malam ini aku menyelesaikan ketikan novel seperti biasa. Telinga kiriku tersumbat earphone, dan mataku menghadap ke layar kaca 15 inci tersebut. Sudah berjam-jam aku berkutat dengan alur cerita dan pemikiran, hampir setiap hari aku selalu berhadapan dengan benda berwarna silver selama 5 tahun terakhir. Inilah pekerjaanku, Penulis.
Aku Garda, Gardenia Agusta Yone. Menjadi penulis bukanlah keinginanku, tetapi dengan menjadi penulis aku menghidupkan kembali jiwa yang telah mati, dengan kata lain, dia abadi. Di umur yang ke-25 aku sukses memegang kendali Yone bersama adik sematawayangku, Juda, Juda Shagara Yone, namanya, lelaki yang selalu mendampingiku di setiap keadaan, baik gembira maupun duka, aku menyayanginya.
Juda, dia begitu pandai dan terampil, percayalah padaku bahwa seperempat pelanggan kedai saat malam minggu adalah penggemar adik manisku. Juda mengikuti program akselerasi, di umurnya yang menginjak kepala dua, dia telah bergelar master dan menyabet serentetan penghargaan, aku bangga padanya. Namun bukan Juda yang ingin aku ceritakan, tetapi dia, dia yang ingin seperti baris terakhir dalam puisi "Aku" oleh Chairil Anwar. Dia yang ingin hidup 1000 tahun lagi.
Halo kalian, gimana ? Apakah cerita ini menarik ? Aku butuh kritik saran kalian. Terima kasih sudah membaca.
Have a nice day,
Rin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Immortal
RomanceHidupkan aku, seribu tahun lagi. Aku kembali. Tunggu aku, seribu tahun lagi, aku di sampingmu.