Tidak dipungkiri, aku benar-benar menyukai Alan sudah hampir tiga tahun ini. Sahabatku itu, rupanya sangat berhasil membuat mataku hanya tertuju padanya.
Terkadang, aku menuliskan tentangnya di lembaran kertas berwarna biru pudar, mengabadikan momen kami yang cukup mengesankan.
Duniaku, hanya seputar tentang dirinya. Tersenyum diam-diam saat memandangi punggungnya sudah menjadi kebiasaanku, detak jantung yang menggebu serta rona wajah ini hanya miliknya.
Aku tidak tahu, sejak kapan hatiku menaruh harap padanya.
Dari aku terjaga di pagi buta, sampai malam hari menjemput tidurku, aku selalu memikirkannya. Segalanya tentang dia.
Senyumnya yang manis dengan dua lesung pipi, mampu membuat mataku berbinar takjub. Suaranya yang lembut dan tenang selalu diterima baik oleh pendengaranku. Sikapnya yang hangat, rupanya mematikan. Mampu mematikan rasa dan mataku untuk orang lain. Aku, tidak bisa menerima kehadiran orang lain untukku.
"Alan, aku bawakan ini untukmu. Ibuku membuat sarapan lebih," aku serahkan kotak bekalku yang berwara biru pudar itu. Bohong, aku membuat bekal itu khusus untuknya. Sepanjang membuat bekal sarapan, senyumku tidak pudar.
"Terima kasih Hanan," Alan menerimanya. Dia tersenyum, sambil mengintip isi bekal yang aku berikan. "Aku suka nasi goreng buatan ibumu, selalu enak. Lain kali, aku ingin berkenalan dengan ibumu, dan meminta resep nasi goreng yang lezat ini."
Aku hanya tersenyum saja, tidak berani mengiyakan keinginan Alan yang ingin berkenalan dengan ibuku.
"Boleh aku makan sekarang? Jam masih setengah tujuh, aku belum sarapan tadi." Aku menganggukan kepala, mengiyakan.
Aku senang Alan tampak semangat membuka kotak bekal milikku itu. Sebelum dia menyuapkan nasi goreng itu ke mulutnya, dia sempat menawariku untuk sarapan bersama. Dengan pelan aku menggeleng, aku ingin memperhatikan berbagai ekspresi yang selalu muncul setiap kali dia memakan bekal yang aku berikan.
"Bagaimana?" Tanyaku dengan pelan, mencoba sesantai mungkin. Padahal, aku sebenarnya gugup, jantungku berdetak luar biasa cepat. Hampir setiap pagi aku menanyakan hal yang sama, 'bagaimana rasanya?'
Tersenyum, Alan menganggukan kepala. "Enak, seperti biasa. Kamu patut bersyukur memiliki ibu seperti ibumu, pandai memasak dan perhatian."
"Perhatian?" Tanyaku bingung. Alisku berkerut, dahiku juga.
"Ya, membuatkanmu sarapan setiap hari adalah bentuk perhatian. Senangnya, aku kecipratan," Alan tersenyum manis. Sebelah pipinya tampak sedikit menggembung, ku yakin ada potongan sosis besar di sana.
Menemani Alan sarapan adalah hal yang tidak akan pernah membuatku merasa bosan. Bukan hanya itu saja, melihatnya sarapan menggunakan masakanku benar-benar membuat aku bahagia. Apalagi, tidak jarang dia memuji masakanku itu. Aku senang.
Aku dan Alan, kelas kami berbeda. Hanya saat kelas satulah kami sekelas, bahkan duduk di meja yang sama. Dulu, benih-benih menyukai belum sekencang ini, namun aku sudah sadar bahwa saat itu aku sudah tertarik pada Alan. Mungkin suka pada pandangan pertama.
"Tidak lelah kamu bangun pagi-pagi sekali hanya karena menyiapkan sarapan, untuk Alan?" Alet, teman satu mejaku di kelas tiga ini. Wajahnya bulat, manis, tidak bosan untuk dipandang lama-lama. Dia tahu, bahwa aku menyukai Alan. Katanya, dia cenayang. Ada-ada saja. Saat mendengar pengakuannya aku tidak bisa menyembunyikan senyumku.
"Aku tidak apa-apa, aku senang melakukannya," kataku, dengan pelan. Aku mengeluarkan buku dari tas, sebentar lagi guru masuk kelas.
"Kamu terlalu naif, bodoh. Jika suka, katakanlah! Jangan seperti ini, memendam perasaan bukannya tidak enak?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
HANAN (Completed)
Teen FictionApa yang Hanan harapkan dari sebuah persahabatan?