Payung Hijau

459 78 18
                                    

“Aaah, kenapa hujan tiba-tiba, issh…” Taeyong menggerutu kecil sambil menuju emperan sebuah toko untuk berteduh. Sambil sesekali melirik bocah laki-laki di sampingnya yang tampak tak tenang, Taeyong mengaduk-aduk isi tasnya.

Akhirnya Taeyong menemukan payung lipat hijau yang selalu berada di bagian dasar tasnya, “huuft… untung ada.”

Sebelum Taeyong membuka payungnya, diliriknya sekali lagi bocah kecil di sampingnya yang tak henti-hentinya melihat angka di jam digital lucu yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Ada apa? Apa kau terburu-buru?” Taeyong bertanya juga karena penasaran.

Bocah laki-laki itu menoleh, “iya, hyung, pagi ini aku piket di kelas, aku harus datang lebih awal, tapi gara-gara hujan ini…”

“Mau pinjam payungku?” tawar Taeyong langsung.

Si bocah tampak terkejut, tapi tak bisa juga ia menyembunyikan kelegaan di wajahnya. “Tapi hyung bagaimana?” Tanya bocah itu cemas.

“Aku? Aku tak sedang buru-buru kok, aku bisa menunggu hingga hujannya reda. Ini!” Taeyong menyodorkan payung yang belum sempat dibukanya.

“Terima kasih, hyung. Tapi…bagaimana aku mengembalikannya?”

“Hmm, kau temui lagi hyung besok di sini, di jam yang sama, bisa?”

“Eung!” Bocah laki-laki itu mengangguk kemudian menerima payung yang disodorkan Taeyong. “Terima kasih, hyung…” lambai bocah itu sambil berlari kecil menjauhi Taeyong. Senyum manis bocah itu membuat Taeyong membalas lambaiannya sambil tersenyum juga.

“Kau telah berbuat baik, Lee Taeyong… Semangat!” Taeyong menyemangati diri sendiri.

Seperti katanya tadi, Taeyong benar-benar menunggu hingga hujan reda, tetapi sudah 20 menit berlalu dan hujan tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Taeyong melirik jam di tangannya dan jarum jam di sana menunjukkan 5 menit lagi bel masuk akan berbunyi.

Taeyong mendesah pelan, bagaimana bisa ia ke sekolah tepat waktu sementara hujan masih mengguyur cukup deras. Taeyong bergidik membayangkan konsekuensi yang akan diterimanya kalau sampai ia terlambat. Akhirnya, Taeyong memutuskan untuk berlari menembus hujan sambil memeluk tasnya agar buku-buku pelajarannya tak kehujanan. Namun, sepertinya usahanya sia-sia, Taeyong berhasil sampai di sekolah tepat sebelum gerbang di tutup dengan keadaan basah kuyup dari ujung kepala hingga ujung kaki, begitu pun dengan tasnya.

“Issh, pagi-pagi sudah sial begini…” Sambil terburu-buru berlari ke arah toilet, Taeyong terus mengeluh sehingga tanpa sengaja ia menabrak seseorang yang tampaknya juga sedang terburu-buru.

“Ah, maaf…” ‘Issh, Jung Jaehyun, kenapa aku harus bertabrakan dengan dia sih?’ Batin Taeyong begitu melihat siapa yang ditabraknya.

“Hm.” Laki-laki tampan bernama Jung Jaehyun itu hanya menyahut singkat dengan ekspresi wajah datarnya.

‘Huh, dasar irit kata!’ Gerutu Taeyong dalam hati. Taeyong paling malas kalau harus berurusan dengan laki-laki datar yang satu ini. Walau Taeyong pun mengakui laki-laki ini sangat tampan, tetap saja ia membencinya.

Ya, Taeyong membenci Jung Jaehyun. Kenapa? Karena Jung Jaehyun telah menyakiti hati sahabatnya dengan tak menanggapi pernyataan cinta sahabatnya tempo hari.

“Kau tak apa-apa?” Tanya Jaehyun tiba-tiba. Taeyong malas menanggapinya, jadi ditinggalkannya saja laki-laki datar itu. Toh, ia masih harus membersihkan dan mengeringkan seragamnya yang terkena air hujan. Tanpa disadari Taeyong, Jaehyun masih terpaku di tempatnya, memperhatikan Taeyong hingga ia menghilang di balik pintu toilet. “Maaf…”

UmbrellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang