Bab 2

18 2 0
                                    

Aku memasuki kedai kopi yang sudah sangat familiar. Aroma kopinya tak pernah berubah meski ditelan waktu dan senyum Panji yang selalu setia menyambut kehadiranku pun tak pernah absen dari kedai kopi itu. Aku melambaikan tangan pada Panji yang kemudian ia balas dengan anggukan untuk menyiapkan kopi favoritku.

"Tumben lo jam segini udah kesini, mau kemana lo?" Suara Panji membuyarkan lamunanku.

Aku tak menjawab pertanyaan Panji dan memilih untuk segera menikmati segelas cappucino buatan Panji yang rasanya tak pernah ku temui di kedai kopi manapun. Berulang kali ku tanyakan padanya apa resep rahasianya membuat cappucino ini berkali-kali pula ia menjawab dengan jawaban yang sama 'suatu saat nanti, Ra, lo pasti tahu apa yang membedakan cappucino ini dengan cappucino lainnya.' Aku lagi-lagi dipaksa puas dengan jawaban Panji.

Aku menatap wajah Panji.Laki-laki yang menemaniku melewati berbagai cerita hidupku, suka, duka, tawa, tangis, kelam, kelabu semuanya aku lewati bersamanya. Tidak pernah ia meninggalkanku. Laki-laki yang menjadi saksi hidup atas segala perjuanganku melawan kejamnya dunia. Laki-laki yang selalu menguatkanku kala aku rapuh. Laki-laki yang tiap kali sepasang matanya menatapku aku merasa ada sesuatu yang menusuk relung hatiku dengan hangat. Seperti aku merasakan kasih sayang milik perempuan yang pernah memperjuangkan nyawanya untuk memperkenalkan aku dengan semesta. Tatapan matanya yang selalu menjadi misteri apa yang sebenarnya tersimpan dibalik hitam pekat bola matanya.

"Eh kampret gue nanyain lo kali malah ngelamun. Mau kemana lo siang bolong begini?"

"Males gue sebenernya cabut jam segini. Tapi lumayan, Nji, mana bisa gue tolak."

"Semangat dong, Ra. Lo ga boleh ngeluhan gitu ah."

Aku menyeruput kembali cappucino favoritku. Memandang Panji. Laki-laki itu terlihat lebih hidup setelah mimpinya satu-persatu menjadi nyata dan aku bangga menjadi sahabat perempuan satu-satunya yang menemaninya meraih mimpi. Tiba-tiba kenangan masa putih abu-abu kami kembali terlintas diingatanku, saat itu dibawah derasnya hujan sore hari yang membasahi Jogja, Panji berjanji padaku akan selalu ada untukku. Janjinya itu benar-benar ia tepati. Tak pernah ia meninggalkanku. Aku juga ingat semasa dia ngotot ingin ikut denganku mengarungi kerasnya Jakarta jadi ya sudah berangkatlah aku dan Panji ke Jakarta. Ya Tuhan ... Segala kenangan bersama Panji adalah masa-masa paling indah dalam hidupku. Aku bersyukur memilikinya sebagai sahabat laki-lakiku.

"Nji, boleh nanya ga si? Tapi lo harus jawab apa adanya ya?"

Panji terkekeh, "yaelah kampret mau nanya apaan si? Nanya tinggal nanya aja kali gausah pake basa-basi gitu, Laraaaa."

"Kenapa Nji cuman cappucino buatan lo yang selalu terasa sempurna di lidah gue? Kenapa tidak pernah ada lagi cappucino seenak ini di kedai kopi lain, kenapa, Nji?" Aku tahu laki-laki itu pasti tidak memberikan jawaban yang aku ingin tapi entah aku tak pernah bosan untuk menanyakannya.

"Lara," ada jeda dalam kalimatnya,Panji menatapku lalu tersenyum padaku. Senyum yang menyimpan rahasia tentang cappucino buatannya yang selalu ia sembunyikan dariku. "Akan ada masanya lo paham apa yang membedakan cappucino ini dengan cappucino yang lain."

"Kapan si, Nji, gue paham apa bedanya cappucino buatan lo dengan cappucino yang lainnya. Gue mana ngerti tentang kopi-kopian begini."

"Suatu saat nanti gue yakin lo pasti paham. Lo akan paham kalo lo ngerasain pake hati, Ra."

Panji bangkit dari mejaku meninggalkanku sendirian dengan pikiran-pikiran tentang apa maksud dari kalimatnya barusan. Aku mungkin memang berdekatan dengan Panji tapi sungguh rahasianya tentang cappucino favoritku itu menjadi benteng besar yang membuatku merasa tak begitu paham sosok Panji.

***

Sekujur badanku dibasahi oleh keringat. Aku memandang laki-laki berusia senja yang sekarang posisinya berada diatas tubuhku. Keringat juga membasahi tubuhnya. Meski usianya berusia senja tapi keperkasaannya masih kuat. Dibuatnya aku tak berdaya oleh hentakannya pada kewanitaanku.

"Aahhh..." Laki-laki senja itu mendesah kala cairan kentalnya muncrat memenuhi liang vaginaku. Ia memelukku. Meremas rambutku. Dibawanya aku ikut serta ke dalam surga kenikmatan yang sedang ia rasakan.

Om Pram, pelanggan setiaku. Iya aku perempuan pekerja seks komersial. Siapapun bisa menikmati setiap lekuk tubuhku dengan uangnya. Sebenarnya, aku tak pernah ingin seperti ini tapi kejamnya Jakarta dan tuntutan hidup memaksaku harus merelakan tubuhku digauli oleh laki-laki hidung belang yang haus akan hangatnya lubang kewanitaan.

Berbeda dengan pelangganku yang lain yang langsung meninggalkanku setelah mendapatkan kenikmatan, Om Pram lebih senang berlama-lama menghabiskan waktu denganku. Katanya, aku persis sekali seperti istrinya. Semua yang ada pada diriku selalu berhasil mengingatkannya pada sosok istrinya yang sekarang selalu sibuk merintis kariernya. Entah mengapa aku juga menikmati setiap waktu yang ku lalui dengan Om Pram. Dia baik. Sangat baik. Ia tak pernah menganggapku sebagai seorang pelacur. Ia pernah berkata, tidak peduli siapapun perempuan itu, sehina apapun dia, yang namanya perempuan layak untuk dihormati dan patut dihargai. Perempuan adalah mutiara yang indah. Perempuan adalah perhiasan paling berharga.

"Kadang hidup memang seperti itu, Lara," Om Pram menghembuskan nafasnya sebelum menyelesaikan kalimatnya, "manusia tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya bahagia sebelum ia berjumpa dengan rasa sakit. Kalau semuanya indah dan berjalan sesuai keinginan kamu, kamu tidak akan pernah paham manis pahitnya sebuah perjuangan. Bukankah, sesuatu yang kita dapatkan dari perjuangan kita sendiri terasa lebih berharga?"

Aku masih berada dalam pelukannya. Setiap bertemu dengan laki-laki senja ini selalu ada pelajaran hidup yang aku peroleh. Ia selalu berpesan padaku untuk tidak pernah menyerah meski dunia ini menghujaniku dengan duka-duka yang membuatku ingin menutup usia.

"Saya tahu, pelangi tidak selalu ada selepas hujan. Tapi kamu juga harus mengerti satu hal, sederas apapun hujan yang membasahi kamu pasti akan reda. Kamu hanya perlu belajar satu hal, Lara," ada air mata yang ku tahan saat menanti kata-kata yang akan Om Pram lanjutankan, "kamu harus tahu bagaimana caranya bertahan saat derasnya hujan membuatmu kedinginan." Om Pram mengecup puncak kepalaku,membelai lembut rambutku, menatapku lalu pergi meninggalkanku.

Air mataku jatuh. Kalimat Om Pram bergema dalam telingaku.

Kamu harus tahu bagaimana caranya bertahan saat derasnya hujan membuatmu kedinginan.

***

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang