Prolog

78 10 6
                                    

Malam itu di Lombok,
Pulau paling indah yang pernah ku injakkan kaki di dunia ini.

Angin berhembus berbisik di telingaku,
Helaian rambutku berkibar dan bertegur sapa dengan dinginnya tepi pantai malam hari,
Diriku nampak sangat menikmati setiap hembusan angin malam dan suara deburan ombak detik itu.

Disaat orang lain tengah terlelap di sunyinya malam dan berkejaran dengan mimpi yang mereka lalui,
Kupikir keheningan malam malam ini,
Dan juga suasana pantai di Lombok sedang di puncak keindahannya,
Sangat disayangkan jika hanya aku tinggal untuk tertidur. Hanya sesekali aku kesini,
Tidak salahkan jika sehari saja aku menikmati indahnya karya Tuhan?

Derap langkah kaki mendekat,
Tiga lelaki sedang berbincang memecah keheningan malam,
Siapa lagi kalau bukan mereka.
Teman-temanku yang menggandengku kesini untuk sekedar melepas penat.

Mereka melihatku dan berhenti tepat didepanku,
Surai matanya bisa kutangkap kekhawatiran di matanya yang sendu,
Aku tersenyum dan menatapnya lekat.

Dua lelaki lagi izin untuk kembali ke kamar dan beristirahat untuk hari esok.

"Kok belum tidur?," suaranya memecah tembok es diantara kita.

"Lombok malam hari terlalu Indah untuk sekedar digantikan oleh mimpi-mimpi yang belum tentu bisa jadi nyata," jawabku sambil menatap ombak yang bergulung-gulung di lautan luas.

"Besok kan masih bisa, kenapa sekarang?"

"Sesuatu yang ditunda tidak akan seindah saat pertama kali kamu lihat," ucapku menatap lekat surai matanya yang dingin.

Dia tertawa kecil dan tersenyum ke arahku.

"Kamu dari mana?" Tanyaku padanya.

"Dari lounge bentar tadi, nemenin mereka nyari spot estetik katanya," jelasnya singkat.

"Kalian gak mabok kan? Narkoba? Apa main cewek ya di lounge?," ujarku.

"Kamu kira kita apaan? Aku sama mereka gak kayak begitu kok, kita mah alim."

"Ah aku gak akan percaya sebelum ada bukti,"

"Kamu panggil aja sana yang buat cek kandungan narkoba di urin. Di tubuhku itu palingan cuma mengandung es teh kantin, mie ayam kantin, makanan bunda, masakan bibi, sama ultra mimi sedikit." ucapnya dengan sangat menggemaskan.

Tuhan, kenapa dia menggemaskan?
Aku jadi ingin memilikinya sepenuhnya. Senyumnya jangan sampai hilang ya Tuhan,
Itu sebagai penghias karakter dingin dan cueknya. Jangan disebar ke gadis lain, hanya aku saja.

"Kamu gak kedinginan?," tanyanya.

"Aku suka dingin," jawabku.

"Berarti kamu suka aku?"

"Kamu enggak dingin, kamu cuek, aku gasuka," ucapku dengan nada jutek.

Dihatiku tersimpan rasa gugup luar biasa saat kata-kata itu dilontarkan darinya.

"Aku gamau jadi orang peduli," ucapnya padaku.

"Loh kok? Malahan bagus lah,"

"Kalau aku terlahir jadi lelaki yang peduli, semua cewek pasti udah aku peduliin. Nanti istriku kasihan,"

"Kasihan?"

"Rasa peduli yang aku kasih ke istriku udah enggak spesial lagi, karena aku peduli sama semua gadis di muka bumi," jawabnya dengan tegas.

"Kamu betah jadi orang cuek?"

"Kamu betah berduaan gini dipinggir pantai sama manusia cuek kayak aku?"

Ucapannya membuat aku bisu. Tuhan tolong aku tidak tahu mau jawab apa. Hatiku melayang terbang, lemah. Begini saja sudah terbang.

"Aku juga cuek," ucapku.

"Cuek apanya? Aku bisa ngerasain kepedulian kamu,"

"Peduli apanya?"

"Jangan pernah berharap jadi manusia cuek, karena kamu bakalan ngerasain gimana rasanya saat kamu mau peduli tapi ego untuk cuek kamu lebih tinggi,"

"Kamu bisa peduli sama kita, aku?"

"Karena kamu dan yang lainnya itu prioritas, akhirnya ego cuekku kalah sama yang namanya rasa sayang dan kepedulian tinggi,"

"Berarti kamu sayang aku?"

"Kalo enggak sayang gamungkin kita ngobrol sampe jam 1 malam tanpa henti, katamu waktu itu orang cuek tidak bisa cari topik kan?,"

Aku lagi-lagi kaget dengan gaya bicaranya yang santai namun menusuk kedalam relung jiwaku yang mulai dingin terbelai oleh angin malam.

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang