Satu

17 2 0
                                    

Mentari pagi bersinar terik menembus jendela kamarku. Dering alarm berbunyi keras mengganggu tidurku yang cukup nyenyak saat ini. Ini tandanya aku harus mengakhiri mimpi, dan berjalan di atas realita kembali.

Jika saja aku diberi kesempatan kedua untuk terlahir kembali, aku memilih hidup sebagai batu. Tidak melakukan apa-apa dan berdiam pada suatu keadaan.

"Ca, ayo bangun Gilang sudah ada didepan tuh. Nungguin kamu,"

Suara yang tidak asing lagi. Dia adalah alarm kedua yang selalu berhasil membuatku beranjak dari tempat ternyaman di dunia ini.

Tunggu? Siapa tadi kata ibuku?

"SIAPA BU? GILANG? SURUH TUNGGU YA BU AKU MAU SIAP-SIAP,"

Ibuku tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya.

"Giliran Gilang saja, langsung lompat kamu,"

Aku memang lemah jika sudah disangkut pautkan dengan Gilang, masa laluku yang sudah berlalu.

Tipuan Ibu memang selalu hadir di pagi hariku. Bodohnya lagi aku selalu tertipu dengan hal yang sama.

"Ibu, ini sungguh tidak lucu." rengekku seperti balita yang haus pelukan.

Ibu hanya tertawa dan menyuruhku untuk cepat bersiap-siap untuk bersekolah. Karena jam sudah menunjukan pukul 05.30.

Entah kenapa setiap nama Gilang muncul di distorsiku, pikiranku selalu kembali ke masa dimana aku masih bersamanya. Lombok. Iya itu adalah masa lalu terindah untukku.

----------------------------------

"Cie tumben banget nih dateng pagi gini," ujar seseorang di belakangku.

"Diem deh lo, Dit. Gue lagi gak mood hari ini," jawabku ketus dan cuek seraya mendahuluinya ke kelas.

Aku menaruh tasku di meja tempatku duduk. Menghela nafas dan duduk dikursiku.

"Ca? Lo kenapa sih? Cerita dong,"

Aku terdiam dan melihat ke arahnya dengan tatapan sinis. Aku tidak suka diintimidasi seperti ini, walaupun Adit adalah sahabatku. Tapi ada saatnya aku akan bercerita.

"Iya deh, maaf. Gue diem deh nih,"

Adit terdiam dan duduk disampingku dengan tenang. Maafkan aku, mulutku masih bisu untuk berbicara hari ini.

"Pasti Gilang, kan?"

Aku menaruh kepalaku di meja. Dan mendengarnya berbicara seperti itu, aku semakin malas untuk menanggapinya.

-----------------------------

"Kantin, yuk." Ajak Adit padaku.

Aku menatapnya sayu.

"Lo duluan aja, Dit. Gue mau sendiri,"

"Yaudah, jangan kemana-mana ya. Gue mau ke kantin dulu,"

"Gue bukan anak kecil, Dit."

Adit pergi keluar kelas. Kini aku sendiri disini. Jika ramaipun aku masih merasa sepi. Karena orang yang kutunggu kehadirannya malah tak pernah datang mengetuk pintu hatiku.

Entah mengapa hari ini aku dihantui memori Lombok waktu itu. Tidak biasanya aku murung seperti ini.

Aku memutuskan untuk menyusul Adit ke kantin. Memang hanya Adit yang dapat aku curahkan semua isi hatiku, dan dia selalu punya jalan yang tepat untuk membantu aku keluar dari pikiran ini.

Mataku mengedarkan pandangan, mencari lelaki yang aku maksudkan. Dia disana, sedang mengobrol dengan temannya. Aku menghampirinya dan menepuk pundaknya.

"Lombok, Dit,"

Dia menoleh dan berpamit dengan kawannya, karena dia akan meluangkan waktu untuk bicara denganku.

---------------

"Dit, Gue salah gak sih sebenarnya  lost-contact gitu aja sama dia?"

"Ca, Kalau dia sayang sama lo, mau beda sekolah, beda kota, beda planet pun, dia bakalan nyari lo. Bahkan kalo lo di ujung duniapun, dia bakal nyamperin lo. Sayang itu komitmen, kalau cinta itu main-main,"

"Tapi..."

"Gue tau, susah buat lo lupain dia. Gue tau kisah lo berdua, tapi gue yakin. Lo pasti bisa,"

"Gak bisa, Dit. Setiap hari gue berusaha lupain dia, tapi setiap saat itu juga kenangan itu semakin masuk ke pikiran gue."

"Yang lo butuhin dari dia adalah jawaban. Itu kenapa lo masih terbayang-bayang sama dia,"

"Bodohnya gue ninggalin dia sebelum gue dapet jawaban, Dit"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang