PROLOG
“Jadi ya … gitu deh. Pokoknya Nara keren banget. Aku suka lihat pas dia main basket tiap istirahat!” ucap Olla nyengir-nyengir sendiri. Matanya terlihat mengharapkan pujian atau komentar menyenangkan dari kedua sahabatnya.
Sheila tidak tahu harus memasang muka seperti apa karena dia tidak tertarik. Nara si Bad Boy, humph! B aja. Cowok Bad Boy paling gitu-gitu aja. Tapi dia tidak berani mengatakannya pada Olla, jadi Sheila hanya diam saja. Dia memutuskan untuk tidak berbicara apa-apa. Masih pagi udah bicara cinta-cintaan lagi. Bucin!
Sheila melirik Kayla yang mukanya juga kelihatan bosan. Kayla menatap balik Sheila. “Kenapa kamu suka cowok kayak gitu sih?”
Salah. Salah banget! Sheila mau ngamuk sekarang. Harusnya Kayla ngubah topik pembicaraan bukan malah bahas si Nara!!! Tapi terlambat sudah, nasi sudah jadi bubur. Bubur tidak buruk, jadi Sheila menahan diri untuk menghela napas panjang dan menatap Olla.
“Ada deh …,” Olla nyengir malu-malu. “Aku mau cerita tapi malu hehe.”
Sheila jadi geregetan. Terserah kau!
“Aku bukannya apa-apa sih, Ol. Tapi kamu tahu kan kek gimana si Nara itu. Hati-hati sama cowok nakal kayak gitu. Sekolah aja gak diseriusin apalagi kamu,” ucap Kayla.
“Nara bukan cowok nakal. Nara itu Bad Boy,” kilah Olla.
“Sama aja jir,” Sheila mulai emosi.
“Mendingan sama Bian. Udah ketos, ganteng, pinter, banyak teman, sopan, ramah, terus-terus …,” mulut Kayla sampai berbusa mengucapkannya. Sheila bahkan tidak mendengarkan lagi apa yang diucapkan Kayla.
“Udah ih sampai kapan kalian mau bahas itu terus? Mending bahas yang lain aja deh,” keluh Sheila. Toh mereka gak mikirin kalian juga, tambahnya dalam hati.
“Kamu mending cari gebetan juga deh Shei. Biar hidup kamu jadi lebih berwarna,” usul Olla.
“Berwarna apanya?”
“Jadi ada pink-pinknya gitu.”
“Plis lah,” keluh Sheila. “Pusing aku kalian bucin gini.”
Sesaat meja mereka menjadi hening. Masing-masing sibuk dengan minumannya sendiri. Di hari minggu yang kebetulan tidak ada PR ini, mereka bertiga, Olla, Kayla, dan Sheila pergi ke kota sebelah, Bandung, untuk menonton film di bioskop. Sebenarnya mereka sudah janjian dari jam 9 tapi mereka bertiga baru komplit setengah jam kemudian, dan 15 menit kemudian barulah bis yang mirip dengan Tayo datang. Empat puluh lima menit kemudian mereka sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Sambil menunggu jadwal film yang akan mereka tonton, mereka bertiga makan-makan dulu di foodcourt.
Mungkin bagi orang-orang, ini tidak spesial. Tapi bagi orang seperti Sheila yang baru pertama kali merasakannya, hal seperti ini spesial. Dan dia baru saja menghancurkan suasana.
“Anu, maaf. Aku nggak bermaksud apa-apa.”
“Ya, santai aja kali. Orang aku lagi lihat IG kok,” sahut Kayla santai.
“Maaf, nonton anime aku. Baru download tadi pagi. Tadi kamu ngomong apa ya?” tanya Olla.
Entah mengapa Sheila menyesal karena tadi sempat menyesal.
“Hah … bukan apa-apa Kay. Beneran,” Sheila menghela napas. “Hanya saja … jatuh cinta tuh enaknya sama orang yang tepat. Kalau gak, malah makan hati.”
Mereka cuma gak tahu aja pahitnya jatuh cinta itu kayak gimana. Terutama sama orang yang salah. Sebenarnya inilah masalah Sheila. Masalahnya di masa lalu yang belum bisa dia lupakan.
Dia takut jatuh cinta.
“Emangnya ada apa Shei? Kenapa kamu kayak nggak suka banget?” tanya Kayla prihatin.
“Serius amat. Pengalaman ya?” Olla nyengir mencurigakan.
“Shei?” tanya Kayla prihatin.
“Bukan apa-apa.”
Sheila menolak untuk menjelaskannya. Gadis itu memutar-mutar sedotannya searah jarum jam. Akhirnya dia kembali ke kota lamanya, Bandung. Sudah 3 bulan dia tidak ke sini. Untuk orang yang baru pertama kali melarikan diri, rasanya 3 bulan terasa lama. Untungnya neneknya adalah orang yang ramah, membuat Sheila betah tinggal di rumah neneknya.
Sheila menatap orang-orang yang sedang pacaran dengan rasa takut. Kedua temannya masih memandang dengan muka penasaran. Kalau saja mereka tahu masa lalunya, mereka akan mengerti alasan Sheila takut dengan laki-laki.
***