Scene 03

20 2 0
                                    

Apa yang paling ingin kamu katakan pada sahabat terdekatmu?

[][][]

Kakiku mempercepat lajunya ketika hujan semakin melahap habis jaketku dan kini sukses menusuk kulit seperti jarum suntik yang dimasukkan bersamaan. Sesekali aku menginjak genangan-genangan kecil yang tercipta di permukaan trotoar dan celana jeans bagian bawahku basah dibuatnya.

Aku mengangkat sedikit jaketku untuk mengintip sampai di mana kaki ini membawaku pergi. Ketika rumah dengan cat coklat bata sampai di pupil mata, aku berbelok masuk ke terasnya.

Aku mengeringkan diri di depan pintu dengan plafon di atasnya. Sambil mengetuk pintu, aku menunggunya terbuka sembari mengusap-usap tubuhku yang mati dilahap beku. Tak lama pintu dibuka dari dalam, menampakkan wajah pualam yang terlihat lebih dingin dari hujan hari ini.

"Ada apa, hujan-hujan begini mampir?"

"Itu, aku ingin membicarakan sesuatu."

"Kalau yang kau maksud sekarang adalah Jihee, maaf, aku tidak bisa membuka pintunya lebih lebar."

"Yah, sebenarnya pembicaraanya agak condong ke sana, tapi—tunggu, Jim, aku belum selesai bicara."

"Aku sedang tidak ingin membicarakan itu, Jung. Jadi pergilah."

"Ayolah, Jim, aku mau meluruskan sesuatu."

Jimin menatap lurus—setengah ragu untuk meluncurkan persetujuan dari mulutnya. Namun pada akhirnya ia menarik daun pintu lebih lebar dan memberi jalan untukku melangkah masuk. Ah, tenang saja. Aku sudah meletakkan jaketku di gantungan dekat pintu.

Aku menjatuhkan tubuhku di atas sofa empuk berwarna biru tua yang terletak tepat di depan televisi. Sedangkan Jimin duduk di sofa tunggal di sebelahku.

Umumnya, seseorang akan menyajikan teh hangat atau jajanan ketika menerima tamu di dalam rumahnya. Namun melihat raut muka yang bahkan Jimin terlalu pahit untuk diajak bicara, aku menarik semua permintaanku di rumah lelaki ini.

"Bicaralah, waktuku tidak banyak."

"Jim, kau salah paham. Aku tidak sedang berkencan dengan Jihee."

Lewat mulutnya yang tertutup, aku bisa lihat ia menggertakan gigi dan menghela napas berat sejenak saat memalingkan pandangan. Melihatnya belum mempunyai niat untuk membalas, aku melanjutkan, "Kau mungkin salah tangkap. Sepertinya pemikiranmu itu muncul dari mulut orang dengan persepsi yang melenceng. Aku tidak mungkin melakukan itu pada kekasih sahabatku, kan?"

"Kau menyebut persepsiku melenceng?"

"M-maksudmu?"

"Aku melihatnya, Jung. Dengan mata kepalaku sendiri. Kau mengantar Jihee sampai depan rumahnya, memberikannya jaketmu, dan mengusap puncak kepalanya. Kau pikir sesalah apa pahamku sekarang ini?"

"Aku tidak—"

"Jujur saja, Jung. Apa yang kau lakukan pada Jihee selama aku pergi ke Busan?"

Ini saat yang kutunggu.

"Kau mau tahu apa saja yang aku lakukan dengan Jihee? Aku membelikannya ramen hangat saat pulang sekolah, mengantarnya pulang setiap hari, menelponnya setiap malam, mengirim pesan setiap pagi, mengajaknya ke bioskop setiap dia sedih dan kadangkala dia mengajakku ke bar dan kau tahu apa yang dia racaukan saat mabuk?"

Jimin membulatkan mata dan nampak tak bisa berkata-kata. Aku mengepalkan tangan sampai semua buku jemariku memutih. Dengan napas menggebu dan ringisan kesal, aku melanjutkan, "Namamu, Jim. Dan itu membuatku begitu muak."

"Brengs—"

"Yang brengsek itu kau, sialan! Kau tidak pernah ada saat dia butuh, tapi kenapa dia selalu memilihmu? Sedangkan aku," Bangkit dari sofa, aku melangkah mendekat pada Jimin yang tak berkutik, "Aku ada di dekatnya setiap saat, datang saat ia butuh. Tapi dia tetap memilihmu."

Tanganku merogoh saku jaket dalam dan meraih sebuah benda tajam yang biasa Ibu pakai untuk memotong wortel di dapur. Jimin melangkah mundur, dan aku memangkas jarak mendekat hingga Jimin tersudutkan di sisi tembok.

"J-jung, kita bisa bicarakan ini baik-baik."

"Jihee butuh seseorang yang lebih baik darimu, Jim. Dan orang itu adalah aku."

Aku memainkan pisau di tanganku layaknya seorang handal. Katakan aku gila, memang. Sejak melihat mata sembab gadis itu yang ia tunjukkan di bawah guyuran hujan—jelas karena ia tak ingin tangisnya dilihat seseorang—dan mengetahui bahwa punca semua air matanya adalah Jimin, sejak itu otakku sudah kehilangan batas normalnya.

"Sadar, Jung! Aku ini temanmu!"

"Ya, beberapa menit yang lalu. Sekarang, kau hanyalah seseorang yang tinggal menunggu kematian dan membusuk di neraka."

"Tidak. Hentikan, Jung! Kau gi—" Aroma anyir memenuhi hidungku seiring dengan darah yang mengucur deras lewat abdomen dan mulutnya. Pisauku sudah terlalu basah akan darahnya. Dan ini adalah ganjaran yang setimpal untuk membuat gadis yang aku suka menangis.

"Sekarang, tidak ada yang bisa memiliki Jihee selain aku. Tidak kau, atau orang lain, Jimin." []

Written in
February, 25th, 2019.

HeadspaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang