LINGGAR JATI: HADIAH

9.5K 1.1K 218
                                    

            "Selalu ada kegilaan dalam cinta. Tetapi selalu ada alasan dalam kegilaan." – Friedrich Nietzsche

Itu kata orang, sungguh! Bukan kataku. Aku tidak pandai membuat kalimat manis, juga tidak mampu membuat sebuah kalimat yang penuh inspirasi. Aku merasa belum terlalu mampu menganyam kosakata menjadi untaian kalimat yang bisa membuat orang lain jatuh cinta. Setidaknya, pernah sekali. Padamu. Meskipun tanpa ada bunga atau cokelat ketika tanggal empat belas Februari, yang kata orang disebut valentine kemarin, aku sudah menyusun satu paragraf ungkapan hatiku untukmu.

"Saya tadi bohong, Mas. Maaf, ya!" Kau menulis sesuatu pada buku catatan kecilmu, dengan menggambar sebuah hati di sebelahnya.

Duh, Jati!

Aku memekik. Kau tersenyum, mendongak, mengulurkan tangan. Bibirmu terbuka, tergagap, lalu menutup kembali. Aku tak tega mengomelimu, namun aku memutuskan untuk bungkam saja. Kau tidak banyak bicara selain mengerjap sesaat, lalu jemarimu turun kembali. Aku tahu kau kecewa, namun aku tidak ingin mencari masalah. Bicara kasar padamu sama sekali bukan gayaku. Buku catatan kecilmu terbuka, mengungkapkan kalimat penuh maaf yang membuatku ragu: marah atau tidak.

Kau masih bungkam, Jati. Mengucapkan sepatah kata pun tidak. Kau masih menghela napas beberapa kali. Mungkin aku bisa mengomel, menumpahkan semua rasa yang kupendam selama beberapa jam ini. Kau, Jati! Kau yang sudah membuatku gila hingga menumpulkan sebagian logikaku. Aku berlari kencang, memekik gusar ketika manusia-manusia itu bergerombol.

"Ada kecelakaan," kata mereka.

Aku tak mungkin baik-baik saja ketika melihat sepedamu tergeletak hancur, terhempas beberapa meter dari kerumunan. Aku ingin mengusir semua orang yang berkerumun, hanya untuk memastikan kau ada di sana, dan baik-baik saja.

Benar, kau memang baik-baik saja, Jati! Namun bukan begini caramu mempermainkan hatiku!

"Mas ulang tahun. Saya ingin beri kejutan."

Aku tidak peduli kejutan bila harus begini caranya! Kau menunduk, membuka lagi halaman baru pada buku catatan kecilmu.

"Lalu kenapa kamu bisa ada di sini?" Bibirku terbuka, mengucapkan sebuah kalimat yang mungkin bisa kaumengerti.

"Tadi ada kecelakaan. Sepeda saya kena tabrak. Saya baik-baik saja."

Aku tidak mengerti bagaimana kronologinya, Jati! Yang kutahu, sekarang sepedamu hancur, meskipun sepertinya kau tidak terluka sama sekali. Beberapa orang mulai berkerumun dan mencari tahu apa yang terjadi. Kau menarikku pergi. Aku tahu bagaimana bencinya kau pada kerumunan. Katamu mereka berisik. Mulut mereka bau.

Aku mengangguk mengerti, menarikmu menjauh dari sana. Kubiarkan sepedamu yang hancur itu karena sebentar lagi dia hanya akan jadi rongsokan. Biarlah diambil dan dijual oleh orang lain, kau tidak perlu mengurusinya lagi. Aku bisa membelikanmu yang baru nanti.

"Selamat ulang tahun, Mas! Maaf, ya!"

Aku benci caramu! Aku benci caramu memperlakukanku. Aku benci bagaimana tulisanmu membuat hatiku rapuh begitu saja. Tulisanmu tidak rapi, tidak bagus, bahkan di beberapa lembar kau sengaja menumpukkan banyak kalimat jadi satu, melingkari kalimat yang pernah kaukatakan agar kau tidak perlu menulis lagi.

"Jangan begini lagi, Jati! Kalau kamu datang, beritahu Mas! Nanti Mas jemput."

"Nanti tidak jadi kejutan." Kau masih menunduk, menulis kalimat itu lagi dengan lengkungan di bibir.

Linggar Jati: HadiahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang