Prolog

33.8K 2.2K 291
                                    

Yang Jeongin pulang dengan pemandangan yang membuat dirinya ingin sekali melempar kekasihnya ke dalam jurang sekarang juga.

Apartemen tempat tinggal mereka terlihat seperti sebuah kapal pecah dengan kaleng bir dan putung rokok dimana-mana; lantai kotor bersama pakaian, serta barang-barang lain yang di biarkan tergeletak sembarangan.

"Sialan, apartemen ini bau sampah." Pemuda itu mendengus kesal sebelum beranjak ke kamar tidur untuk memaki pria yang sudah tiga tahun ia pacari tersebut.

"Jae!"

Bentaknya marah setelah membanting pintu kamar terbuka. "Are you fucking stupid? you've told me you would clean up ya shit before i get back!" Jeongin melempar tas kerjanya ke arah kepala Jae yang sedang asik merokok.

Lelaki itu tidak merespon meski kepalanya pening akibat sambaran tas ransel Jeongin barusan. Memilih diam untuk sibuk tenggelam dalam dunianya sendiri. Pandangannya masih ia lempar jauh keluar jendela; menikmati sensasi kental dari nikotin yang mengisi paru-parunya.

"Oh, bukan hanya bodoh sekarang kau juga tuli?"

"I fucked up Jo..." Jae akhirnya membuka suara. Menoleh menampakan wajah bagian kiri yang tadi tidak Jeongin lihat lebam dengan luka robek yang sudah membiru.

"Astaga..." Jeongin mendadak panik. Pemuda itu menghampiri Jae dan berusaha menyentuh pipinya perlahan, "Apa yang terjadi? kenapa kau bisa sampai seperti ini?"

"Aku... Aku bertengkar." Jawab Jaehyung pelan agar Jeongin tidak menyadari keraguan di balik suaranya.

"Kenapa?"

"Aku tidak sengaja menghilangkan kokain yang Brian titipkan hingga kami terlibat pekelahian."

Jeongin mendesah, kepanikannya berubah menjadi kekhawatiran, "Berapa?"

"Huh?"

Jeongin diam-diam menyusun rencana didalam kepalanya untuk mencari sebuah pekerjaan part time tambahan, "Berapa banyak nilai kokain itu?"

Jae menyentuh pipi Jeongin dan mengecup bibirnya, membiarkan bibir mereka berlama-lama disana sebelum menjawab, "Aku sudah membayar semuanya."

Jeongin menatap Jae tidak percaya, "Benarkah? Uang darimana?"

Jeongin tahu Jae mendapat kesulitan mencari pekerjaan, karena pemuda itu masih belum mampu terlepas dari lingkaran setan bernama narkoba yang telah membelenggu dirinya selama setahun belakangan ini. Tidak ada orang yang cukup bodoh untuk mempekerjakan pecandu seperti Jae di tempat mereka.

Hingga sampai sekarang, mereka berdua hanya mengandalkan gajih tidak seberapa dari hasil kerja keras Jeongin yang bekerja di dua tempat sekaligus.

"Aku menjual mobilku."

Jeongin terhenyak, menatap kekasihnya seolah ia memiliki dua kepala,

"Jae, kau..."

Jae tersenyum, "Tidak apa-apa baby, aku tidak terlalu memerlukan mobil untuk saat ini."

"Tapi itu mobil warisan kakekmu, Jae. Kau yakin tidak apa-apa?" Jeongin bertanya memastikan. Mobil kakek Jae adalah benda paling berharga yang Jae miliki di dunia ini. Sebuah warisan yang beliau tinggalkan sebelum beliau berpulang setahun yang lalu.

Kalau mobil kesayangannya itu telah di jual, Jeongin tidak bisa membayangkan kesedihan yang bagaimana yang Jae rasakan sekarang, "Sungguh, Jo. Aku benar-benar baik-baik saja. Malah aku ingin mengajakmu kencan malam ini. Bagaimana menurutmu?"

"Kencan?"

Jae mengangguk, "Rasanya sudah lama sekali aku tidak memanjakan kekasihku." Dia mengecup Jeongin sekali lagi, "Kau bisa menutupi lebam ini dengan make-up kan? Karna malam kita akan dinner di restaurant paling mahal di kota."

Hurts Like HellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang