Kenangan

28 2 2
                                    

Waktu berputar begitu cepat, ”tik,tik,tik, itulah bunyi yang sering terdengar.” Banyak kenangan telah terjadi. Kenangan yang kini tak mungkin lagi terulang. Kenangan yang selalu akan kurindukan setiap saat, setiap jam, setiap menit, dan setiap detik. Kenangan yang sulit untuk dilupakan. Kini hanya kenangan yang bisa kuingat, berada bersamaku hingga akhir hayat. Sesekali kenangan itu kuingat. Muncul begitu saja hingga meneteskan air mata. Mata begitu sulit membendungnya hingga air itu mengalir begitu saja dan membasahi pipiku. Itulah yang kurasakan saat ini.
“ Sayang, ayo cepat nanti kamu terlabat”katanya padaku.
“Bentar Bu”jawabku.
Ibu selalu mengatakan hal itu setiap pagi sebelum berangkat ke sekolah. Ayah dan adikku berkumpul di meja makan yang usia cukup tua. Meja makan yang ada di rumahku sangat antik, karena ibu selalu suka mengeleksi barang-barang antik. Di meja makan itulah kami sering bercanda, makan bersama, dan belajar.
“Sayang kamu harus belajar dan raih cita-citamu!” Ibu selalu mengatakan hal tersebut kepadaku dan adikku. Ya, apa yang dikatakan oleh ibu menjadi semangatku untuk mengejar impianku hingga kini. Ibu juga selalu berpesan kepadaku agar selalu menuntun dan mengejarkan Mira, adikku yang kini berusia empat tahun.
“Sayang, jika nanti kamu sudah besar, ibu selalu berdoa agar Tuhan selalu menjagamu. Tidak banyak yang bisa ibu berikan kepadamu. Ibu akan melakukan yang terbaik untuk anak-anakku.”
Ibu selalu membacakan dogeng kepadaku dan adikku sesat sebelum tidur. Inilah moment yang paling sering kami lalui bersama. Tidak ada sesuatu yang paling berharga selain itu. Dogeng The Quiet Queen yang selalu dibacakan oleh ibu hingga kamu tertidur pulas. Ibu lantas mencium keningku dan adikku dan menyelimutiku.
Semenjak aku berusia 15 tahun semua telah berubah. Ayah divonis dokter terkena penyakit kanker paru-paru. Ayah juga harus di rawat di rumah sakit. Selama di rumah sakit ibu selalu memegang tangan ayah dan mencium keningnya. Selain itu tabungan habis digunakan untuk membiaya kemoterapi penyakit kanker yang di derita ayah. Ibu sosok perempuan yang tidak pernah menyerah. Ibu yang dulunya hanya mengandalkan penghasilan ayah kini, ia harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. 
Kini aku telah menyelesaikan pendidikan di bangku Sekolah Menengah Atas. Aku tidak ingin berlarut dalam kesedihan. Aku harus membantu ibu untuk membiayai Mira dan ayah. Namun aku juga ingin meraih cita-citaku menjadi Pramugari. Aku terus mencari informasi sekolah pramugari. Aku juga mencari informasi lowongan cabin crew.
Kali ini keruntungan menghampiriku. Aku diterima di salah satu maskapai penerbangan ternama. Maskapai yang beberapa kali mendapatkan penghargaan Awak Kabin Terbaik di Dunia. Sayangnya Perusahaan ini mengharuskan setiap Pramugari untuk mengikuti Training Center dalam beberapa Bulan. Tetapi untuk mengikuti aku harus datang ke Jakarta. Kota yang begitu asing bagiku. Belum lagi biaya yang dikeluarkan tidaklah sedikit.
“Apa yang harus kukatakan kepada ibu? Apa ibu sanggup membayar tiket pesawat, dan biaya pelatihan selama aku di Jakarta?”
“Tapi aku tidak sanggup meninggalkan ibu dalam keadaan seperti ini. Ayah yang kini sedang  berjuang melawan penyakit dan Mira yang kini sedang sekolah.”
“Tuhan, apa yang harus hamba lakukan.”
Air mataku menetes dan menangis tersedu-sedu. Sesekali aku menutup mulutku dengan bantang agar suara tangisku tidak di dengar oleh Ayah dan ibuku. Sudah dua hari kusimpan hal tersebut kepada ibu. Baru kali ini aku memberanikan diri untuk mengatakan kepada ibu.
“Bu, ada yang ingin Bunga katakan kepada Ibu.”
“Iya katakanlah sayang.”
“Tapi Ibu jangan marah kepada Bunga. Bunga tahu apa yang katakan kepada ibu membuat ibu marah bahkan akan sedih.”
Lantas ibu memegang kedua tanganku dan tersenyum.
“Katakanlah sayang, ibu tidak akan sedih dan  selalu mendukungmu.”
“Ibu aku sudah meraih cita-citaku dan kini sudah berada di depan mata. Kini aku  di terima menjadi Pramugari pada salah satu maskapai penerbangan.”
Mendengar hal tersebut, ibu langsung memelukku.
“Selamat sayang, ibu bangga padamu. Ibu telah berasil mendidik dan mengantarkanmu hingga kini.”
“Tapi bu, aku tidak ingin meninggalkanmu dalam keadaan seperti saat ini.”
“Tidak sayang. Pergilah, railah impiammu”
***
Satu minggu telah berlalu kini aku harus meninggalkan ibu, ayah, dan adikku. Dalam perjalanan menuju Bandara Ngurah Rai ibu dan ayah selalu memegang tanganku. Ini pertama kalinya aku pergi meninggalkan orang yang aku sayangi. Ibu dan ayah tak henti-hentinya menyanyikan lagu-lagu kesuakaanku sewaktu kecil. Lagu itu dinyanyikan oleh ibu untuk menghiburku. Kini kami telah sampai di Bandara Ngurah Rai. Ibu membantuku menurunkan koper sedangkan ayah memberikan syal yang ia rajut khusus untukku.
“Sayang, ayah selalu merestuimu. Jangalah dirimu.”
Ayah memelukku mencium keningku. Mataku berkaca-kaca dan tak terbendung lagi.
“Janganlah bersedih! Ibu akan selalu berada bersamamu. Tersenyumlah!”
“Bunga tidak ingin meninggalkan ibu dan ayah.”
“Sayang, ayah pernah berkata kepadamu, setiap pertemuan pasti ada permisahan. Itulah hukum alam yang tidak bisa kita hindari.”
Aku berjalan ke ruang tunggu. Ayah dan ibu terus melambaikan tangan.
Kini aku sudah berada di Jakarta. Hari pertama hingga akhir aku sukses mengikuti pelatihan dan lulus dengan nilai yang memuaskan. Dalam sebulan ibu selalu menelpon setiap akhir pekan. Tapi sayang, tiap malam aku selalu merindukan kenangan bersama keluargaku. Aku kangen ayah, ibu, dan Mira. Mereka adalah penyemangat bagiku. Akhirnya aku bisa kembali ke Bali dalam beberapa pekan sebelum aku mulai terbang.
Ketika di rumah ada kabar buruk yang harus kudengar.
“Kak, Ayah sedang koma.” Kata Mira kepadaku.
“Tidak, tidak, katakan itu tidak benar, Mira.”
Rasanya baru kemarin aku berbicara kepada ayah. Kini ayah berbaring lemah tak berdaya. Aku segera berbegas ke rumah sakit.
“Ibu, ayah baik-baik saja khan?”tanyaku pada ibu.
“Sayang, kamu harus tabah.”
Air mataku menetes. Aku segera menemui ayah. Dalam ruangan tersebut banyak alat yang dipasang pada tubuh ayah. Lantas Ibu berbisik di telinga ayah.
“Sayang, Bunga kini telah ada disampingmu.”
Seketika tangan ayah membuka mata dan tersenyum.
“Bu nga,” itulah katanya yang diucapkan ayah.
Aku tahu ayah telah berjuang melawan penyakitnya selama ini. Aku, Ibu, dan Mira sangat senang ayah telah sadar dari koma. Aku terlalu egois pada ayah. Ya Ayah harus tersiksa menggunkan alat-alat seperti ini.
“Bunga sayang Ayah. Bunga tidak ingin ayah sakit.”
“Sekarang, Bunga Iklas.”
Ayah tersenyum dan menutup mata. Saat itulah ayah pergi meninggalkan kami. Kami iklas melepaskan ayah. Tuhan lebih sayang kepada ayah. Sekarang ayah tidah sakit lagi. Air mata mata kami tidak dapat dibendung lagi.
Hari-hari berlalu tanpa ayah. Kini ibu bekerja sebagai tukang jahit. Mira yang kini tumbuh menjadi gadis remaja yang  cerdas. Aku tahu, tidak salamanya bisa bersama ibu dan Mira. Ini adalah risiko dari pekerjaanku sebagai Pramugari. Setiap akhir bulan aku mengunjungi Ibu dan Mira. Tapi kasih sayang ibu tidak pernah padam. Ibu selalu mempunyai semnagat hidup.




KASIHMUWhere stories live. Discover now