I.

30 2 0
                                    


Sen.ja, waktu setengah gelap sesudah matahari terbenam, disaat itulah ia sedang meniup kecil cangkir putih yang ia genggam sembari membaca buku. Entah buku apa, yang aku tahu ia terlihat senang dengan apa yang di bacanya. Duduk manis di bangku yang sama setiap kali ia mengunjungi tempatku bekerja. Bukan, dia bukan datang untukku, ia hanya datang untuk memesan caramel latte dan membaca buku, sekedar melepas penat sepulang ngantor—mungkin, entahlah, tidak banyak yang aku tahu dari dirinya. Hanya wanita mungil, mungkin tingginya sedadaku, dengan rambut pendek yang selalu ia selipkan di belakang telinganya, menunjukkan garis lehernya yang tegas dan, astaga, manis sekali. Satu hal yang aku tahu tentang dirinya dari hari pertama kami bertemu, namanya,

" Atas nama Natsya!" sang pemilik namapun menoleh dan berjalan ke arah bar tempatku berdiri.

" ada apa mas? Pesanan saya sudah semua kok" ujarnya bingung. Terdapat sedikit whippedcream di ujung bibirnya, dan dengan bodohnya tangan ini mencoba meraih wajah itu,

"aw!" Kenet sudah berdiri di sampingku dan mendaratkan kakinya di kaki kiriku.

" duh, maaf ya mba, temen saya salah panggil nama" ujar Kenet dengan senyum basa basinya.

Wanita itu hanya tersenyum dan mengangguk kecil, lalu kembali ke tempat duduknya.

" sinting ya lo? Demen boleh Dir, bego jangan" ujar Kenet sembari melempar kain lap ke wajahku. Aku berdecak dan menoleh ke arah Natsya yang duduk di sudut ruangan, membelakangi kaca besar yang menunjukkan orang lalu lalang di tepi jalan.

Pukul 17.45

Tuhan memberikanku pemandangan terindah dari sisi kota Jakarta. Cahaya jingga yang menyentuh pipi Natsya menghasilkan siluet manis di tembok tua kedai kopi ini. Meredam hiruk piruk kedai kopi, bentuk apresiasi atas keindahan senja, dan juga Natsya.

Lonceng di atas pintu berdering ketika seseorang membukanya. Seorang perempuan berambut ikal dan panjang berjalan lurus ke arahku dengan senyuman terbaik yang pernah aku lihat di muka bumi ini,

" hai Kintan!" sapa Kenet.

" hai Kenet!" balasnya cepat dan berdiri tepat di depan kasir.

" halo tampan, sudah makan?" ujar Kintan disertai senyuman sumringah seperti biasanya.

Aku menggeleng dan tersenyum,

" Net gue istirahat makan, jam 7 gue balik" ujarku sembari melepas celemek kulit berwarna coklat tua yang dari tadi melekat di tubuhku.

" jangan kelamaan, lagi rame ini" ujar Kenet dari balik meja bar.

Kintan meraih tanganku dan menyeretku keluar kedai, " cepet! aku laper" ujarnya diiringi omelannya yang khas.

Dia adalah Kintan , kekasihku semenjak SMA, kami selalu bersama semenjak lahir, mungkin. Tante Astrid, yaitu mamanya Kintan, dan mamaku sudah berteman semenjak lagu New Kids On The Block berputar di radio, atau mungkin jauh sebelum itu. Aku dan Kintan berawal dari teman sedari kecil, kemudian menjadi sahabat, lalu saling mengakui bahwa rasa peduli yang kami rasakan lebih dari sekedar sahabat.

Kintan adalah orang pertama yang percaya akan semua pilihanku, dia orang yang mampu meyakinkan disaat rasanya tidak ada jalan sama sekali, bisa dibilang Kintan itu bintang untuk langit malamku.Aku kira itu hanya romansa putih abu abu sesaat, akan tetapi sudah 7 tahun berlalu dan perasaan ini masih tetap sama.

"Dirga, kamu kenapa?" wajahnya sudah tepat di depan wajahku

"hah? Gapapa kok" ujarku sembari memalingkan muka.

" ini pilih kamu mau makan apa" ujarnya sambil menyodorkan menu makanan yang di laminating.

" aku nasi goreng kambing, kamu mau gak?" aku berdiri untuk memesan makan.

" satu berdua ya?" pintanya. Kebiasaan Kintan yang tidak pernah hilang, selalu tidak habis jika makan sendiri, meskipun dengan porsi yang sedikit.

Aku mengangguk dan memesan nasi goreng kambing dengan dua telur, lalu kembali duduk di samping Kintan yang sedang berkutat dengan handphone nya.

"tadi gimana fashion show kamu? lancar?" aku menyelipkan rambutnya yang panjang ke belakang telinganya.

" hm baju yang aku design dapet tanggapan bagus tadi, itu namanya lancar gak?"

ia menoleh ke arahku dan terkekeh.

" itu sih namanya mantap djiwo!" ujarku sembari mengayunkan jempolku ke wajahnya. Ia menepisnya dan tertawa.

" kalau kamu gimana tadi? Kedai kopinya rame?" tanyanya sambil kembali berkutat pada handphonenya.

"hm lumayan rame , Natsya juga dateng hari ini, cookiesnya tante Astrid juga habis, kan kamu liat sendiri tadi" jawabku sambil meminum es teh manis.

" hm Natsya? Natsya siapa Dir?" tanyanya sembari menoleh ke arahku, yang sontak membuatku tersedak.

" ha bukan siapa siapa kok, dia sering dateng aja, makanya jadi hafal namanya" jawabku dengan setenang mungkin. Aku melirik Kintan yang hanya ber-'ooh', lalu kembali dengan handphonenya.

Beberapa menit kemudian pesanan nasi goreng kambing kami pun datang. Kintan tetap berceloteh tentang fashion shownya, atau beberapa designer ternama yang memuji karyanya sambil sesekali melahap nasi gorengnya. Satu persatu kalimat yang Kintan ucapkan terdengar kabur di telingaku, aku hanya memerhatikan wajahnya dan mengangguk sesekali.

Wajahnya, suaranya, gerakan tangannya ketika bercerita, bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan. Caranya tertawa yang bisa membuat suasana terasa menyenangkan bukan hal yang dapat digantikan pula.

" Dir, kamu kenapa?" Kintan menyentuh ujung hidungku. Aku mengambil tangannya dan menggenggamnya.

" udah belum makannya? Kasian Kenet sendirian, lagi rame soalnya" ujarku.

Kintan mengangguk. Aku berdiri untuk membayar makan, sementara Kintan sudah berdiri di tepi trotoar. Aku memperhatikan Kintan yang memakai kaus abu abu dengan gambar band favorite kami berdua.

" mba Kintan makin cantik aja mas" ujar penjual nasi goreng sembari menyerahkan kembalian kepadaku.

" iya dong mas, beruntung kan saya? " jawabku dengan menepuk bahu penjual nasi goreng yang dari dulu sudah berjualan di dekat kedai kopi ku.

Aku menyusul Kintan dan menggandeng tangannya untuk menyebrang. Malam itu Jakarta hujan, seperti pasangan klasik lainnya ketika hujan, aku dan Kintan berlari dan tertawa sampai di depan kedai kopiku. Aku melompat lompat agar air pada pakaianku turun, Kintan mengibaskan rambut basahnya ke arah wajahku. Kintan terbahak melihatku mangap mangap karena terkena kibasan mautnya. Aku suka Kintan yang seperti ini, yang jail dan tertawa lepas di hadapanku. Aku tidak tahu jika suatu saat nanti Kintan yang seperti ini akan hilang, yang aku tahu, seseorang memerhatikan kami yang bertingkah bodoh dari dalam kedai. Natsya.

ô   

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 01, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Senja TerakhirWhere stories live. Discover now