12. Invitation

322 16 0
                                    

Felix duduk bersandar di atas tempat tidur dengan iPad di tangannya. Sementara itu, Evelyn tampak sibuk memasukkan pakaian miliknya ke dalam lemari. Felix sesekali melirik wanita itu, memperhatikan gerak-geriknya. Hingga matanya tak sengaja menangkap sebuah baju yang tersimpan dalam plastik ziplock berukuran cukup besar. Sepertinya baju itu sengaja dipisahkan dari pakaian yang lain.

Felix meletakkan iPad-nya. Ketika melihat baju itu lebih dekat, ia baru sadar bahwa baju itu bukanlah pakaian biasa. Baju itu terlihat seperti seragam karate lengkap dengan sabuknya yang terdiri dari berbagai macam warna. Tidak hanya itu, di dalamnya juga terlihat ada beberapa sertifikat yang entah apa.

"Apa ini milikmu?"

Pertanyaan itu membuat gerakan Evelyn terhenti. Pandangannya tertuju pada benda yang ditunjuk Felix. Ia terdiam sesaat. "Sebentar ya. Aku bereskan ini sekalian," ucap wanita itu lalu memasukkan tumpukkan baju terakhir ke dalam lemari.

Setelah memastikan semua beres, Evelyn melangkah menghampiri Felix. Ia duduk di samping pria itu. Tangannya meraih plastik ziplock yang dimaksud dan mengeluarkan isinya. "Iya. Aku sempat belajar karate dengan orang profesional."

"Ini pertama kali aku mengetahuinya. Aku nggak pernah dengar cerita ini dari Mama atau Lisya."

Evelyn menatap Felix dengan senyum tipis di wajahnya. "Aku ikut tanpa sepengetahuan mereka."

"Kenapa?"

"Dulu sekali, waktu pertama kali aku bilang ingin belajar karate, Mama mengiyakan permintaanku. Aku sempat ikut kelas selama beberapa bulan. Tapi, yang namanya proses belajar pasti nggak mudah. Aku cukup sering terluka bahkan sampai cedera. Karena itu, akhirnya Mama meminta aku berhenti dari kelas karate."

"Kamu nggak seharusnya mengiyakan begitu aja kalau ujung-ujungnya kamu justru ikut kelas lain secara diam-diam."

"Aku masih ingin belajar tapi nggak ingin membuat Mama khawatir. Jadi... begitulah."

"Kenapa kamu bersikeras belajar karate?"

"Untuk perlindungan diri. Aku ingin bisa melindungi diriku sendiri," ucap Evelyn tanpa menatap Felix.

"Sudah larut malam. Lebih baik kita tidur," ujar Evelyn. Ia mengembalikan semua benda itu ke dalam plastik lalu menyimpannya di tumpukkan paling bawah.

Berbeda dengan Evelyn yang tidak perlu waktu lama untuk pergi ke alam mimpi, rasa kantuk tak kunjung datang menghampiri Felix. Ia berbaring dengan kedua tangannya berada di belakang kepala dan tatapannya memandang lurus ke depan.

Belajar karate sebagai bentuk perlindungan diri adalah alasan yang sangat masuk akal. Namun, hal itu jadi terasa janggal ketika ia mendengar pengakuan wanita itu beberapa saat lalu.

Sekian lama tinggal dan mengenal Mama, Evelyn pasti tahu seberapa besar kekuasaan yang Mama miliki. Ia tidak perlu repot belajar karate hingga membuat dirinya terluka hanya untuk perlindungan diri. Karena Felix yakin, Mamanya sanggup menempatkan berapa orang pun di sekitar Evelyn untuk memastikan keselamatannya.

Pergerakan di sebelahnya sukses mengembalikan fokus Felix. Benar saja, ketika ia menoleh, Evelyn tampak bergerak tak nyaman dalam tidurnya. Keningnya berkerut dengan kedua mata yang masih terpejam. Apakah mimpi buruk kembali mengusik tidurnya?

Pemikiran itu lah yang mendorong Felix untuk bergerak mendekat dan menarik Evelyn dalam peluknya. Satu tangannya yang bebas menepuk-nepuk punggung wanita itu dengan lembut. Sepertinya upaya itu berhasil. Tidak hanya untuk menenangkan Evelyn, tapi juga untuk dirinya sendiri. Felix bisa merasakan matanya yang semakin lama semakin terasa berat. Hingga akhirnya ia jatuh terlelap.

***

"Lihat siapa yang datang," ucap Lisya saat Felix melangkah masuk ke ruang kerjanya di kantor Adhiyaksa Group.

Felix tidak menghiraukan 'sapaan' itu. Ia melangkah menghampiri Lisya yang masih duduk manis di balik meja kerjanya. "Aku menerima undangan dari orang itu," ucapnya to the point.

"I know," Lisya menyahut santai. "Karena nggak mungkin seorang Felix mau menginjakkan kaki di gedung ini dengan sukarela. Iya, kan?"

Tanpa sepatah kata, Felix berlalu dari hadapan Lisya dan duduk di sofa.

Semalam, ia baru saja menerima undangan pesta ulang tahun perusahaan milik salah satu 'kenalannya' yang akan diselenggarakan bulan depan. Sebuah undangan yang sebenarnya sudah biasa di kalangan para pengusaha. Namun, Felix seketika menjadi waspada saat melihat bahwa undangan itu datang dari Sony Adhiyaksa.

Sebagai anggota keluarga sekaligus rekan bisnis, Mama dan Lisya memiliki hubungan yang cukup dekat Sony, terutama dalam urusan bisnis. Sebagai pimpinan Adhiyaksa Group, Mama seringkali menghadiri acara perusahaan yang diadakan oleh Sony, begitu pun sebaliknya. Dan Lisya hampir setiap kali ada di samping Mama untuk menemaninya. Namun, hal itu tidak berlaku untuk Felix.

Sejak dirinya memutuskan untuk menekuni minatnya terhadap game dan tidak mau ikut campur mengenai urusan perusahaan, Felix ingat betul bagaimana Sony seolah membuangnya. Bagi Sony, ia tidak lebih dari seorang anak yang bodoh karena telah menyia-nyiakan kesempatan sebagai penerus perusahaan keluarga dan lebih memilih untuk melakukan hal yang tidak berguna. Sejak saat itu, Sony tidak pernah mau terlibat urusan apa pun dengannya. Mereka hanya bertemu di saat-saat tertentu, seperti saat keduanya menghadiri acara yang sama atau situasi yang tidak disengaja lainnya.

Bertahun-tahun berlalu, hubungan mereka tidak kunjung membaik. Tidak akan pernah membaik. Lalu, tiba-tiba saja Sony mengundangnya ke acara ulang tahun perusahaan. Sudah pasti pamannya itu memiliki motif tersendiri. Dan alasannya pasti karena berita pernikahannya dengan Evelyn sudah sampai ke telinganya.

"Kamu sudah mempersiapkan semuanya untuk menghadapi situasi ini. Mulai saat ini, dia akan selalu ada di sisimu, sebagai istrimu. Itu akan memudahkanmu untuk melindunginya. Apa lagi yang kamu khawatirkan?"

Lebih dari siapa pun, Felix dan keluarganya tahu betapa kerasnya usaha Sony untuk menemukan Evelyn selama ini. Meski usaha itu tidak pernah membuahkan hasil karena ada Mama yang menjaga Evelyn. Menyembunyikan keberadaannya dari Sony atau siapa pun yang memiliki niat buruk terhadapnya.

"Kamu tahu betapa berbahayanya dia."

Lisya benar-benar sulit mempercayai apa yang dilihatnya saat ini. Felix yang ia kenal adalah orang yang penuh perhitungan. Ia akan mempersiapkan segala sesuatu dengan matang sebelum terjun ke medan perang dan meraih kemenangan. Namun, hal itu sepertinya sama sekali tidak berlaku ketika ia sedang berhadapan dengan Evelyn.

"Nggak usah terlalu khawatir, lah. Aku yakin Om Sony nggak akan berani berbuat macam-macam di pesta itu. Dan satu hal lagi, jangan remehkan Evelyn. Dia bukan orang lemah yang akan membiarkan dirinya dilukai dengan mudah."

Merasa urusannya sudah selesai, Felix berpamitan pada Lisya dan beranjak pergi. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu, ia kembali mendengar suara Lisya. "Kapan pun kamu siap untuk meneruskan posisi Mama, kamu bisa menemuiku."

Felix menatap Lisya sekilas lalu mendengkus pelan. "Tidak, terima kasih. Aku lebih suka melakukan hal yang tidak berguna," sarkasnya.

Jawaban itu membuat tawa Lisya pecah. Oh, ia sungguh terhibur dengan reaksi adiknya itu.

***

The Red String of FateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang