●○●2●○●

93 35 5
                                    

Tepat hari ini adalah tanggal 17 Agustus 2019. Hari kemerdekaan Bangsa Indonesia.

Tak luput kami mengibarkan sang pusaka merah putih. Berbaris rapi layaknya upacara bendera pada umunya sembari menyanyikan lagu kebangsaan Indonesi raya.

"Indonesia tanah airku
Tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri
Jadi pandu ibuku

Indonesia Kebangsaanku
Bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru
Indonesia Bersatu

Hiduplah tanahku
Hiduplah negeriku
Bangsaku Rakyatku, semuanya
Bangunlah Jiwanya
Bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya

Indonesia Raya
Merdeka merdeka
Tanahku Negeriku yang kucinta
Indonesia Raya
Merdeka merdeka
Hiduplah Indonesia Raya"

Inilah suasana yang baru pertama kali aku rasakan. Upacara bersama orang-orang yang baru dan tempat yang baru pula.

Kami saling rangkul. Saling memberi semangat. Menengok sang mentari pagi yang sedang menyapa kami. Membalas seruan angin. Tuhan, sebuah kebanggaan bisa menakklukan salah satu ciptaan-Mu yang agung ini.

Tes

Setetes air mataku baru saja keluar dari persembunyiannya. Mungkin selama ini aku yang terlalu keras kepala, tidak ingin membuka mata.

Melihat sekitarku.

Memperhatikan alam bekerja.

"DI SINI TEMPAT AKU BERPIJAK, DI SINI INDONESIA" seru Wildan.

"TEMPAT SANG MAHAMERU BERDIRI DENGAN GAGAH" balas kak Geo.

Aku tak ingin melewatkannya, dengan percaya diri aku berteriak "MENYAPA MENTARI PAGI"

"MEMBALAS SERUAN ANGIN" teriak Yahya

Sigit menoleh kebingungan lantas dengan lantang ia berkata "BERSAMA HATI DAN TANGAN YANG SENANTIASA BERDOA"

"DEMI MENGGENGGAM SEJUTA MIMPI" balas Bianca.

Kini giliran Riki, ia tersenyum lantas berkata "DAN MENAKKLUKANNYA"

Kami berpelukan, tak bisa menahan tangis bahagia ini.
Bahagia, aku sangat bahagia.

Kepalaku menengadah, entahlah kurasa ada cairan kental yang keluar dari hidungku. Membasahi hingga mulut, turun ke leher.

Di depanku, kabut ada dimana-mana, sangat sulit untuk menemukan siapa-siapa di sini. Rasanya seperti terbang lalu dibawa berputar-putar oleh angin.

"Pi! Hidungmu"

"Pi! Bertahan"

Hingga semua kabut itu berubah menjadi gelap.

Sunyi.

Hilang.

○○○○3676○○○○


Mataku mengerjap beberapa kali. Bayangan-bayangan yang tadinya buram kini berganti menjadi sosok-sosok yang amat kukenal.

"Dia hanya kelelahan, sekarang kondisinya sudah stabil"
"Mungkin karena belum terbiasa dengan suhu di sini, membuatnya mimisan"

"Terimakasih Surya"

Surya mengangguk lalu berpamitan karena telah di tunggu rombongannya.

"Pi, lo bikin gue panik hish..." kata Reni segera memelukku.

"Cupu, lo suka ya? bikin kita-kita takut" kini gantian Bianca yang memelukku.

"Ekhem!"

Semua menoleh, itu suara Kak Geo.

"Oke, aku ga bakal ganggu kalian"

Aku memelotot, apa maksud Reni. Dasar

Kak Geo menarikku menjauh dari rombongan. Menuju tempat yang lebih dekat dengan mentari pagi.

"Pi"

Aku menoleh dan mendapatkan tatapan yang tak bisa aku artikan. Tangan kanannya mengusap lembut rambutku. Lantas tersenyum.

"Sebenarnya Semeru itu ada kepanjangannya"

"Apa?"

"Seseorang dengan SEnyum yang MEnghiasi haRi tUaku"

"E-eh siapa yang Kak Geo maksud?"

"Si lebah"

"Nah, lebahnya itu siapa?"

"Kamu, Pi. Elluna Ifi, sang lebah yang membuatku merasakan bagaimana rasanya jantung berdebar kencang saat melihatmu"

"Kenapa lebah?"

"Karena lebah kepanjangan dari ELLuna yang sElalu membuatku BAHagia"

"Hih lebay ih"

"Lebay-lebay gini tapi sayang"
"Kamu bisa blushing juga ternyata"

Aku memegangi pipiku sendiri. Mencoba menyembunyikan rona merah di pipiku. Itu pasti sangat memalukan.

"Tapi kalau emang kamu ga bisa, it's okey. Aku ga maksa ke kamu buat kasih balasan rasa yang sama"

"Kak Geo, aku mau jujur. Sebenarnya waktu malem itu-"
"Emm aku bukan masalahin Zidan, tapi"
Dengan jari telunjukku yang bergetar perlahan menunjuk wajah tampan Kak Geo.

Zidan? Dia adalah masa lalu yang ikut terbawa olehku. Tetapi tidak untuk saat ini. Zidan pergi bersama badai yang membuatnya lupa akan segala hal. Dan aku membencinya.

"Ha? Waktu itu berarti aku salah?"

"Sedikit. Sudah tabiatnya Kak Geo selalu sok tahu"

"Enak saja!"

Sedetik berlalu. Tiba-tiba tangan Kak Geo menggapi tanganku. Yeah! Hal tersebut membuatku tegang di tempat.

"Oke. Jadi, sekarang"
"Sudikah kiranya Elluna Ifi menjadi lebah yang menemani laki-laki ini menggapai mimpi-mimpinya?"

Aku mengangguk-angguk malu.

Tangan berototnya kembali mengusap rambutku, bukan kali ini mengacak-acak rambutku. Membuat topi kupluk yang kukenakan di ambang-ambang terjatuh.

"Woy, ada orang nih disini!" teriak Bianca

"Sirik amat lo! yang pacaran mereka eh yang ribet situ, mau sama gue Bi?" Balas Faisal membuat kami semua tertawa.

Ya seperti inilah kami. Berawal dari teman satu kampus yang sama-sama bosan dengan kehidupan di Kota. Dan ternyata memiliki mimpi yang sama. Semua benar-benar di luar dugaan.

Rasanya seperti baru kemarin saja aku terus mengeluh capek, kapan sampai, kapan muncaknya. Tapi semua itu terbayarkan oleh gagahnya Mahameru.

Lebih lagi, bagaimana bisa aku adalah lebah. Aku mengira bahwa Bianca lah yang Kak Geo taksir. Mungkin bukan?
Baiklah lupakan saja, tidak usah dipikirkan.

Aku berjanji. Jika ada waktu aku akan menulis kisah kami menjadi cerita yang dapat orang lain baca.

Dan satu lagi. Hai, Ellunaa Ifi. Mungkin juga Ipi atau Pi. Atau.. panggil saja Si Cupu. Sampai jumpa

○○○○3676○○○

3676 | Si-lebahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang