prolog.

10 4 5
                                    

Aku diam saja saat Renjun bicara panjang lebar soal aku dan pacarku. Sudah hampir empat puluh menit dihabiskan bocah itu untuk memberikan siraman rohani padaku yang lebih tertarik untuk bermonolog ria.

Satu jam yang lalu, aku datang ke rumah Jaemin-pacarku. Hari ini adalah peringatan jadian kami yang ke 500 hari, maka aku menyiapkan sebuah kejutan dan membelikan dia hadiah.

Agak cringe memang tapi kami sudah berjanji untuk merayakan hari jadian kami baik yang ke 100, 200, hingga 1000 hari.

"Jaemin belum pulang juga padahal udah jam segini, coba kamu telfon aja," ucapan mama Jaemin membuatku mengurungkan niat awalku.

Padahal dia sudah janji untuk mengosongkan jadwalnya hari ini.

"Woii!? Diem-diem bae, dengerin gue napa!?"

Aku mengangkat wajah dengan malas. Harusnya tadi aku langsung pulang, bukan melalak ke rumah Renjun seperti sekarang ini.

"Hmm." Dehamku singkat membuat Renjun ikut duduk di lantai dan menyandar ke sofa seperti yang kulakukan.

Aku memainkan ujung bantal sofa di pahaku untuk menutupi rok suede coklat delapan senti di atas lutut yang tengah kukenakan.

Ujung mataku menangkap Renjun yang sedang memandangiku.

"Sesayang itu lo sama dia sampe jadi goblok gini?"

Aku mengambil nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan Renjun yang sebenarnya cukup retoris itu. "Lo kan tau sendiri, terakhir gue pacaran tuh smp kelas 2. Umur segitu tau apa gue soal cinta."

"Emang di umur lo yang sekarang, lo udah paham artinya cinta?" Tanyanya kembali.

Belum, jawabku mantap -dalam hati.

Tapi tentu saja aku memilih melawan kecoa terbang daripada mengakui pada Renjun bahwa aku sendiri juga tak paham arti cinta.

Bisa-bisa dia melempariku koleksi kalimat savage yang didapatnya dari instagram.

"Sederhananya, cinta itu saling terbuka, saling mengerti dan saling memberi yang terbaik satu sama lain," ujarnya lalu melempar kemeja putih bername tag Huang Renjun ke wajahku.

Aku mendengus kasar lalu melempar kembali seragam sekolah itu kearah sang empunya.

Diam-diam aku setuju dengan ujaran Renjun. Cinta itu berarti 'saling' dengan konotasi positif tentu saja.

Saling percaya salah satunya.

Aku tidak peduli dengan kesaksian Renjun, Yeri, Kak Jaehyun atau Kak Taeyong tentang apa yang mereka adukan padaku.

Bahkan aku juga berusaha untuk tidak mempercayai mataku sendiri saat menangkap basah kelakuan Jaemin di belakangku.

Sebelum kalimat mengerikan itu keluar dari mulut Jaemin, aku memilih untuk tetap percaya padanya.

Selama ini dia juga tidak menaruh curiga padaku meski aku dikelilingi pria-pria tampan. Dia juga tidak marah saat tahu aku masih berhubungan dengan mantan kekasihku.

Bahkan mendatangi rumahnya untuk curhat seperti saat ini.

Ya. Harus kuakui, si bocah Huang ini adalah satu-satunya mantan kekasihku. Entah kerasukan apa aku di masa lampau tapi jantungku pernah berdegup untuk dia.

Jaemin juga tidak mempermasalahkan saat aku pergi berdua bersama Lucas -si Casanova yang sialnya pernah sekelas denganku.

Aku sangat beruntung karena memiliki kekasih yang tidak posesif dan berjiwa bebas seperti Jaemin -atau mungkin sebaliknya.

"Dia nggak peduli makanya dia santai aja," begitulah bisikan setan yang selalu kudengar tiap aku memikirkan Jaemin.

Bukannya membantah justru otakku berpikir hal yang serupa, "dia emang nggak cinta sama lo."

Hahaha.

Ada benarnya juga sih kalau ditimbang-timbang dari kelakuan Jaemin belakangan ini.

Tidak ada lagi kata 'saling' yang ada kata 'hanya'.

Hanya aku yang peduli.
Hanya aku yang berjuang.
Hanya aku yang bertahan.

"Kenapa sih lo ngga mau jujur aja?"

"Soal?"

"Kalo lo udah tau semuanya."

;satur-date, @blanctzen

satur-date|njm•jjhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang