Senyum yang Tergantung : Kamang dibombardir
Allahu Rabbi Tuhan ar-Rahman,
Mula-mula sengsara tiba di badan,
Di negeri Kamang orang namakan,
Malam Selasa petang Isnayan.
Pukul tiga malam serdadu datang,
Pikul senapan serta kelewang,
Tegak di halaman bedil dipegang,
Kemendur Tiga opas sudahlah terang.
(Sya'ir Parang Kamang-H. Ahmad Marzuki. Anak dari Syekh Haji Abdul Manan, seorang tokoh terkemuka di Kamang dan juga tokoh penting dalam pemberontakan Nagari Kamang tahun 1908 terhadap Kompeni Belanda)
Kamang !..... Pagi baru saja mendaki, perlahan matahari merambat, menjilat dinding-dinding rumah gadang, waktu akan mengantarkannya ke bubungan, dan tentunya, pada puncak yang runcing, matahari yang tertusuk, akan memendarkan cahaya, menerangi beberapa rangkiang, satu si bayau-bayau dan satu sitinjau lauik.
Bidin sedang bersiap, seorang pemuda tanggung yang hatinya sedang berbunga-bunga. Tiba-tiba sekeliling rumah gadang ibunya, berubah..."parak" kecil tempat mandehnya menanam berbagai bumbu, telah berubah menjadi lautan bunga, ada anyelir, kembang sepatu, bunga bakung, dan tentu saja pokok-pokok mawar dan melati.
Yah begitulah perasaan ketika sedang jatuh cinta.
Ah....Bidin mendesah, lama sekali waktu berjalan.
Tak sabar rasanya hendak melangkah ke halaman, kemudian menghilang kekerumunan pasar, ya pasar.
Hari ini Senin, November 1959, Pasar Kamang pasti sangat ramai. Orang-orang akan berdatangan dari kampong-kampung di sekitar Kamang dan bahkan para "penggalas" akan datang dari kampung-kampung dan koto-koto kecil disekitar Agam. Tapi bukan itu yang sedang di pikirkan Bidin.
Sejak sebuah senyum simpul dilemparkan Rukiah, si Gadih Rantih kembang nagari kepadanya ketika melintas di "alek Nagri" beberapa waktu lalu, Bidin seolah demam. Air diminum seperti sekam, nasi dimakan serasa duri. Malam larut dan hening tak menghantarkannya pada dengkur menjelang pagi, tetapi justru mengantarkannya pada penyakit yang sulit obatnya.
Ya...."pitanggang", sebuah penyakit yang membuat orang tak bisa tidur-tidur, malam terlewati dengan menghitung kasau di langit-langit surau tempat ia tidur bersama teman-temannya. Matanya menelitisk tiap ikatan antara kasau dan lae, disanalah atap disusun, dan disela-sela itu selalu ada senyum simpul itu, senyum simpul Rukiah. Bidin telah di racun rindu !
Ah....Bidin mendesah dan bergumam "Alah den tutuik jo tapak tangan, namun di salo jari tampak juo"....ondehhh Rukiah..... Bidin sudah tidak tahan lagi. Seketika ia bergegas menuruni tangga rumah gadang mandehnya, lalu seperti orang ketinggalan kereta, bidin berlari ke pasar Kamang.
Cinta telah membuatnya tak peduli dengan desas desus, bahwa Bukittinggi telah jatuh ke tangan Tentara Pusat, nyaris tampa perlawanan. Ya tampa perlawanan !. Jauh-jauh hari, tentara PRRI dan pejabat sipilnya telah mengungsi jauh ke arah Kumpulan dan membangun pertahanan disana.
Bidin mendengar, seorang Buya besar, juga ikut berada disana. Sudahlah.....!,
Bidin tak mengerti. Bidin terus melangkah kearah pasar dan berhenti di tikungan kecil. Disini, di tikungan kecil ini Bidin akan menunggu, ya menunggu si jantung hatinya lewat. Tak perlu menyapa, tetapi cukup menanti, menanti senyum simpul yang telah merusak ketenangan malam-malamnya.
Bidin menunggu, harap-harap cemas.
Kala itu, matahari semakin merambat naik.
Menunggu....pantaslah kata orang bijak mengatakan, menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan. Bidin berputar-putar di area yang tak lebih dari 3 kali 3 meter, berputar-putar sambil bergumam-gumam. Setiap berputar, yang tampak hanyalah sudut los pasar, kembali berputar kebelakang, hanyalah jalan lengang dibelakangnya.
YOU ARE READING
Senyum yang Tergantung
Historical FictionKisah Cinta dalam pergolakan PRRI di Sumatera Tengah