1

52 2 0
                                    

Kamar itu sepi. Ada kehidupan tapi tak ada rasa. Kelam, kamar itu sangat suram. Lampu redup yang sering sekali mengedap ngedipkan dirinya menambah kesan tak menyenangkan. Di ujung ruangan, terdapat gitar akustik yang menatap nyalang ruangan tersebut. Sedih rasanya ia tak pernah dimainkan kembali. Dulu ia selalu dibawa ke atap sambil menikmati malam. Sayangnya, kegiatan itu takkan pernah ia nikmati kembali. Karena ia pun tahu, karena dialah 2 insan itu berpisah.

***

Namanya juga manusia, tak pernah puas. Namanya juga manusia, selalu ingin tahu. Namanya juga manusia, seringkali melewati batas. Dan sekarang aku mau merutuki manusia itu. Tidak cukup ada aku? Tidak cukup ada aku yang menemani cowok brengsek itu selama belasan tahun? Dengan tak tau diri, dia membuat harga diriku sebagai cewek dihempaskan begitu saja. Dengan gilanya dia mengatakan hal itu dengan wajah sumringah. Aku tak pernah tau sejak kapan ia mulai berubah menjadi manusia yang paling tidak mau aku temukan. Cukup membuatku muak dengan zaman sekarang. Rasanya ingin kumaki dunia karena telah merubahnya. Tapi sayangnya, ia makhluk yang aku sayangi.

Aku memandang sekitar. Hati hati kalau ia datang. Masalahnya aku sedang tidak mau bertemu dengannya karena kejadian kemarin. Rasanya muak saja melihatnya. Mengingatkan hal yang membuatku mual. Dengan memantabkan hati, aku keluar gerbang rumah dengan cepat. Berlari kecil sambil sesekali sembunyi dan menoleh kekanan kekiri. Dirasa sudah cukup aman, aku melangkahkan kaki dengan lega.

Sayangnya, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Hilang bersamaan dengan suara deru motor yang amat kukenali.

"Nau, tumben berangkat duluan. Biasanya nungguin aku dulu."

Suara berat itu membuat aku menahan nafas dan mengontrol muka kembali. Dengan senyum mengembang aku mencoba menoleh kearahnya.

"gak kenapa-napa. Lagi pengen olahraga aja, makanya jalan kaki." Sekali lagi, aku terus tersenyum menyakinkannya.

Dia hanya mengedikkan bahunya tidak peduli. Membuang nafas dengan kasar sambil menggumamkan kata "Bullshit".

"Yaudahlah, sini naik!" Aku bernjengit kaget, tanganku ditarik. Sontan kutarik kembali.

"Kenapa?" Tanyanya dengan tatapan ganjil. Mata hitamnya berhenti tepat berhadapan dengan mataku. Sorotan matanya yang tajam dan mengintimidasi.

Aku memalingkan wajah. Entah mengapa, sekarang aku tidak suka dengan mata hitamnya. Padahal matanya begitu indah. Seakan jika kamu menatapnya, terdapat kerlap kerlip indah seperti galaksi di matanya. Jika ia tersenyum, kamu akan merasakan dunia menatapmu. Dan itu menyenangkan.

"Apasih, kaget tau." Jawabku kalem sambai menaiki jok motornya. "Jalan Yo!" Aku menepuk bahunya malas menanggapi pertanyaan tadi. Dia diam sejenak lalu menghelas nafas berat. Tanpa diketahui, ia tersenyum getir.

Dia menjalankan motornya pelan. Tidak ada percakapann diantara kami. Biasanya aku akan menyanyi sepanjang jalan. dan dia akan bersiul mengiringi nyanyianku. Tetapi sekarang berbeda, tak ada kesenangan itu. hanya kesunyian yang menemani perjalanan kami. Tapi aku benar benar benci jika seperti ini. Dan ini benar benar memuakkan. Persetan dengan kejadian kemarin. Aku tetap tidak bisa membencinya.

Aku menghela nafas, "Kamu gak apa boncengin aku?" Dia tertawa keras sampai motor berguncang. Menepuk jidat.

"Aku serius!" Aku menggeram kesal. Ini pertanyaan serius. Aku takut pacarnya ngelabrak.

"Buat apa marah, dia tau kok kamu sahabat aku." Dia menoleh kearahku dan sekilas aku melihatnya tersenyum.

Dia pikir aku sudah menerima dia pacaran? Oh tentu saja belum yo. Seorang Naurah ini masih belum bisa merelakannya.

The Way Of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang