(17)

9.6K 964 87
                                    

Ruang yang sama. Mobil yang sama. Cal lagi-lagi terbangun di sana. Tidak, katanya pada diri sendiri. Jangan mimpi ini lagi. Cal memejamkan mata kuat-kuat, menyuruh dirinya di dunia nyata untuk bangun.

Pergi dari sini. Ayo bangun, keparat. Kau tidak ingin menyaksikan ini lagi.

Namun jiwanya telah terseret pergi bersamaan dengan mobil yang melaju itu. Ketika Cal membuka mata, ternyata ia masih berada di sana. Oh, tidak, sekarang Cal harus mengulang tragedi itu. Lagi.

"Cal?"

Cal menahan diri untuk tidak menatap April yang sebentar lagi menjemput mautnya. Ia tidak mau menatap penderitaan April.

"Calvin?"

Tunggu dulu. Suara itu.

Cal memberanikan diri memutar kepalanya. Alih-alih April, ia mendapati Vivian lah yang menyetir untuknya. Menyetir dalam kecepatan tinggi. "Viv? Apa yang kau―" Tidak, tidak, ini tidak nyata. Kendati demikian, ia tetap merasakan dengung kendaraan itu ketika kecepatannya menjadi tak terkendali.

"Viv, hentikan mobilnya!" teriak Cal. Tetapi kecelakaan itu tak terelakkan. Memorinya mengulang tragedi yang sama. Mobil itu menghantam pohon. Suara benturan memekakan telinga terdengar. Cal terguncang, namun dengan cepat tersadar mendapati bukan April lah yang terluka di sampingnya. "Viv?"

Wajah Vivian dipenuhi darah. Wanita itu tidak bergerak. Oh, Tuhan, aku membunuhnya. "Tidak. Tidak. Jangan pergi."

Cal menyentuh wanita itu. Bau anyir darah segar mulai merebak ke penciumannya. Ini tidak nyata, ulangnya dalam hati. Tapi ia tetap saja menangis. Ia tidak mau kehilangan Vivian. Ia ingin terus berdebat dengan wanita itu, menciumnya dengan manis. "Jangan pergi," rintih Cal lagi.

Kemudian ia tersedot menuju kehidupan nyata. Matanya nyalang menatap ruangan temaram yang asing―itu bukan hal baru. Ia selalu berpindah-pindah dan keasingan ini adalah satu hal yang bagus. Justru mobil terkutuk yang selalu sama itulah yang membuatnya merinding. Cal merasakan keringatnya yang mengucur. Tenggorokannya terasa seperti disumbat.

Sosok Vivian hadir kemudian. Ia terlihat cemas di sampingnya. "Cal? Kau oke?"

Cal perlu mengerjap dan menyentuh Vivian. Wanita ini nyata. Tidak berada di dalam mobil itu. Tidak terluka sedikitpun. Wanita itu cantik dengan dada telanjang, rambut merah yang jatuh tak beraturan, dan berada di dekatnya. Hanya ada aroma bunga-bunga yang menyenangkan, tidak ada bau darah atau bensin yang siap meledak.

"Kau gemetar. Mimpi buruk lagi?"

Cal tidak menjawab. Ia tidak tahu bagaimana caranya menjawab ketika pita suaranya masih dicengkeram oleh mimpi buruk.

"Tidak apa-apa." Vivian memeluknya, menjatuhkan kepalanya di ceruk leher Cal. Pelukan erat itu menenangkannya. Perlahan tubuh Cal mengendur. Ia membelai rambut lembut Vivian dan―entah mengapa―mulai menangis. "Semuanya baik-baik saja," bisik Vivian. "Aku di sini."

Vivian mendongak dan memberi kecupan singkat untuk Cal. Kecupan itu sepenuhnya menarik Cal ke kehidupan nyata. Wanita ini nyata. Menyentuhnya. Mengecupnya dengan manis. Luar biasa memabukkan. Cal membawa ciuman itu lebih dalam. Vivian tidak keberatan. Wanita itu beringsut menempatkan diri di atas. Ternyata mereka masih telanjang hingga Cal bisa merasakan betapa hangatnya ruang di antara paha Vivian.

Suara pertama yang Cal keluarkan terdengar parau. "Viv?"

"Tidak apa-apa." Vivian menyingkirkan selimut dan memposisikan diri pada milik Cal yang masih lemas. Wanita itu memberi rangsangan ringan. Tak butuh waktu lama bagi Cal untuk membankitkan gairahnya. "Aku bisa menghapus mimpi burukmu."

REPLACE THEMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang