a

73 3 1
                                    








"Liv— i love you"

"..."

"Hallo? Kau mendengarku Liv?"

"Ahh, ya Kak. Tapi aku gak salah dengar kan Kak?"

"Enggak, aku serius. Entah kapan awalnya, yang pasti sekarang aku menyukaimu Liv. To the point aja, mau jadi pacarku?"

"M— Mau kak"















Perkenalkan, aku Olivia Choi siswa kelas 2 menengah atas yang memegang Sekbid-3. Seksi pembinaan minat dan bakat para siswa/siswi yang menjadi teman-temanku di sekolah, everyday as always sibuk mengatur semua program akademik berbeda-beda yang selalu dan selalu di langsungkan hampir 2 bulan sekali.
Cape, justru tidak. Mungkin aku lebih cape kalau terlalu banyak dirumah.
Kebanyakan orang beranggapan kalau rumah adalah tempat dimana keluarga berkumpul tanpa khawatir dari berbagai ancaman tapi semuanya tak berlaku untuk keluargaku.
Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara, itu dulu sebelum setelahnya hadir seorang anak perempuan yang masih seumuran juga dengan adikku.
Sheren Choi adalah adikku, dan Helen Choi adalah adikku yang satunya lagi yang hadir tanpa diundang dari perempuan bernama Sunny. Tak seindah namanya yang terdengar seperti matahari, bagiku hanyalah seonggok nama yang ingin ku tenggelamkan bersama kapal Titanic.
Ibuku, Christina Elian sang pencerah hati penerang masa depan seorang wanita dengan 1000 lapisan kesabaran.

I love you mom...

Itu tadi adalah Kim Doyoung, 3 minggu lalu mengungkapkan perasaannya padaku lewat suara telephone genggamku hampir tengah malam di malam natal sekaligus memberikan kado terindah di tahun baruku. Membuat hariku lebih berwarna untuk hari-hariku yang bisa disebut kelam juga gelap gulita.
Sang mantan ketua Basket dan sekarang menjadi Ketua OSIS, kegiatannya sama sibuknya denganku. Tapi ini adalah Kim Doyoung, laki-laki yang selalu menyempatkan waktunya untukku walaupun 3 menit di sela-sela sebelum rapat OSIS. Sebenarnya, aku adalah prioritasnya saat ini itulah yang dia bilang.

"Kamu udah makan?"

"Belum Kak, nanti saja"

"Ini bekalku, makan saja. Aku gabakalan sempat makan, sayang kalo gak dimakan. Yang ada nanti bunda marah, aku balik lagi ya dan makan kalau tidak aku marah"

"Hei Jeno, pastikan dia makan. Kalau tidak suapin saja dia" ucapnya lagi.

"Ok Hyung!" seru Jeno.

"Gak usah Kak, iya ini aku makan"

Dan dia, pergi.

Nah kan, dia menyempatkan ke kelasku lagi hanya untuk memberikan nasi bekal yang dibawanya untukku. Ini bukan sekali dua kali dia melakukannya untukku.
Perlakuannya sontak membuat seisi kelasku iri, bagaimanapun Doyoung adalah laki-laki populer di sekolahku dengan visual yang tiada bandingnya.
Dia pergi lagi karena ada urusan lain, dia selalu dan harus memastikan ku makan karena gara-gara seminggu yang lalu aku pingsan saat pelajaran olah raga akibat belum sarapan sama sekali.
Aku mengaku diet padanya, padahal fakta sebenarnya aku tak punya uang untuk sekedar membeli roti sekalipun. Dirumah pun aku tak sarapan sama sekali karena aku bosan dengan sarapan pagiku hari-hari ini.
Sarapan adalah makan lewat mulut dan dikunyah, dan aku sarapan juga tapi sarapan lewat telinga mendengarkan seluruh pertengkaran Ayah dan Ibu yang menggema di seluruh isi rumahku.

"Makan tuh, jangan di liatin mulu. Atau mau aku su—"

"Aku bisa makan sendiri Jen!" kupotong ucapan Jeno.

"Gila-gilaaaa Olivia... Kapan aku dapet pacar kayak Kim Doyoung! Udah ganteng perhatian pula" ucap Yeri histeris.

"Jangan ganggu dia, biarin dia makan dulu" protes Jeno

THE DAY AFTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang