©cheawingum
"Mampus! Dasiku dimana nih?"
Aku tersenyum, kemudian menyodorkan dasi milikku kepada Soobin. Dia saudaraku, adik satu-satunya yang paling kusayangi.
Dia melihat ke arahku sekilas lalu kembali melanjutkan mencari dasi itu di dalam tasnya.
Aku kembali menyodorkan dasiku, kali ini tepat di depan wajahnya. Dia nampak kesal denganku namun segera ia mengambil benda itu dari tanganku dan turun untuk mengikuti upacara.
Mungkin tak apa jika sekali-kali dihukum bukan?
***
Bunyi bel istirahat menandakan bahwa masa hukumanku telah habis. Aku mengusap keringat yang berada di sekitar wajahku karena berdiri cukup lama di bawah sinar matahari.
Aku berjalan perlahan menuju kelasku yang terletak di lantai dua. Aku melihat Soobin yang telah duduk manis di bangkunya sambil membaca komik kesukaannya.
Walaupun dia anak yang nakal dan cenderung tidak pedulian, tetapi dia sangat pintar dan berkat kepintarannya tersebut dia berhasil melompat kelas sehingga dapat satu kelas denganku.
Aku segera menghampirinya dan duduk disebelahnya. Sekilas dia melirikku melalui ekor matanya, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya.
Tanganku bergerak untuk mengelus surai coklat kehitaman miliknya. Aku tersenyum saat dia melihatku. Aku hanya ingin mengajaknya makan bersama, karena tadi pagi kami belum sempat sarapan.
"Cih! mengganggu saja. Aku tidak paham jika kamu tidak berbicara, bodoh!" ucapnya kesal lalu pergi meninggalkanku.
Kata-kata seperti itu sudah sering dia lontarkan kepadaku. Bukan hanya dia yang melakukannya, tetapi satu sekolahan yang mengejekku bahkan lebih parah darinya.
Hanya bisa diam tanpa mampu membantah.
Hanya bisa mendengar tanpa mampu berbicara.
Hanya bisa menerima tanpa mampu melawan.Aku tidak bisa melakukan apapun saat mereka mengejekku, menjambakku, menyiramku dengan air kotor, dan bahkan mengunciku di gudang sekolah.
Memang benar aku bisu, tidak dapat berbicara. Tapi aku tetap manusia yang berhak diperlakukan seperti semestinya, bukan?
***
Saat ini sudah lewat lima menit saat bel tanda sekolah telah usai dibunyikan.
Aku segera pergi meninggalkan sekolah untuk bekerja. Sekilas aku melihat Soobin yang masih duduk manis dibangkunya. Kepalanya di atas meja dan tangannya dia jadikan bantal untuk kepalanya.
Aku memang tidak pernah berangkat atau pulang bersama dengan Soobin. Dia berangkat menggunakan motornya dan aku berangkat naik bus. Pulangnya dia pergi main bersama teman-temannya, sedangkan aku pergi bekerja.
Dia selalu marah kepadaku saat aku dekat dengannya di sekolah. Mungkin dia malu karena mempunyai kakak yang bisu.
***
"Yeonjun! Piringnya udah kamu cuci semua?"
Aku tersenyum, kemudian menggeleng sebagai jawabannya.
"Kalau begitu aku bantu ya!" ucapnya sambil terseyum ke arahku.
Dia Hueningkai, teman sekaligus rekan kerjaku di cafe. Tidak seperti rekan kerja lainnya yang mengucilkanku, dia justru bersikap sangat baik dan selalu membantuku.
"Kamu itu istimewa Yeonjun!"
Ucapannya saat pertama kali bertemu denganku masih teringat jelas di memoriku sampai sekarang. Dia menyemangatiku, membantuku, dan bahkan rela belajar bahasa isyarat agar dapat berkomunikasi denganku.
"Udah selesai nih Jun." ucapnya seraya memberikan gelas terakhir yang sudah ia bersihkan kepadaku.
'Terima kasih!'
Aku tersenyum setelah membalas perkataan Kai dengan menggunakan bahasa isyarat. Dia sudah cukup paham mengenai bahasa isyarat, jadi aku tak perlu memperjelas maksudku saat berbicara dengannya.
"Habis ini mau main gak? Atau mau langsung pulang?"
Aku tersenyum sejenak, lalu segera menggerakkan kedua tanganku untuk membalasnya.
'Tidak, aku ingin langsung pulang saja. Nanti orang rumah akan mencariku'
"Baiklah kalau begitu, aku duluan ya! Hati-hati di jalan!" serunya seraya berjalan menjauh.
Aku mengganti baju kerjaku dengan baju biasa sebelum pulang ke rumah. Mereka akan khawatir dan melarangku bekerja lagi jika mengetahuinya.
Setelah berganti baju, aku segera melangkahkan kakiku keluar dari cafe tempat aku bekerja tersebut. Aku pulang dengan berjalan kaki karena sudah malam dan jarang ada kendaraan umum yang lewat saat malam.
***
"Darimana saja sampai pulang malam begini?"
Aku hanya diam menunduk, tidak berani menjawab pertanyaan Ibuku.
"Choi Yeonjun! Ibu bertanya padamu!"
Aku menggeleng sebagai jawaban. Aku merasakan kepalaku diusap pelan oleh Ibuku.
"Kau tau kan peraturan di rumah ini? Tidak ada yang boleh pulang di atas jam 9 malam."
Aku terus menunduk, tidak berani menatap wajah Ibu tiriku.
Memang aku selesai bekerja pukul 8 malam, tetapi saat di jalan tadi aku tidak sengaja bertemu seorang nenek yang sedang kesusahan membawa barangnya. Akhirnya aku membantu membawa barangnya ke rumahnya dulu sehingga aku pulang terlambat dan berakhirlah seperti ini.
"Kau membuat Ibu khawatir, Yeonjun. Jika besok Ibu melihatmu pulang malam lagi, Ibu akan menghukummu. Mengerti?"
Akhirnya aku beranikan diri untuk mendongak menatap Ibu tiriku dan mengangguk sebagai jawaban.
"Sudah, kembali ke kamarmu sana. Nanti Ibu antarkan makan malam untukmu." ucapnya seraya pergi meninggalkanku.
Ibu tiriku memang tegas, tetapi sebenarnya dia masih sayang kepadaku. Dia memarahiku karena dia khawatir kepadaku, dia juga menyuruhku untuk tidak bekerja karena akan membuatku kelelahan.
Aku berjalan menuju kamarku yang terletak di lantai dua, di samping kamar Soobin. Sekilas aku melihat Soobin yang sudah tertidur pulas di balik celah pintunya yang tidak tertutup sempurna.
Aku sangat menyayangi Soobin, walaupun dia membenciku. Aku yakin suatu saat nanti dia paham akan kondisiku dan akan menerimaku sebagai saudaranya.
Setelah sampai di kamar, aku langsung menidurkan diriku di tempat tidur. Mengistirahatkan sejenak otak dan tubuhku yang lelah setelah bekerja seharian.
•
•
To Be Continue...
Heyho! Akhirnya gue bawa cerita baru nih^^
Berhubung TXT baru aja debut dan belum banyak yang buat cerita tentang TXT, akhirnya gue mutusin buat bikin cerita ini^^
Ditunggu vomment nya ya sayang^^ itu berharga banget buat gue^^ Terimakasih:>
KAMU SEDANG MEMBACA
polaroid - choi yeonjun
Fanfiction[ON GOING] Pasti ada saat-saat yang melelahkan untuk kita semua. Saat aku merasa lelah aku akan melihat ke langit. Aku tau bahwa itu tak dapat bersinar selamanya. Pasti ada kegelapan untuk membuatnya bersinar terang. "Aku rela menjadi gelap agar dap...