Hari masih sama. Semburat sinar jingga masih masih muncul dari ufuk timur.
Kaki-kaki jenjang nan panjang yang terselimuti celana panjang melangkah begitu cepat menuju ke dalam sekolah. Sedangkan rok yang dikenakan oleh para gadis yang sepanjang di atas lutut tersibak oleh angin yang melintas. Membuat mereka sudah payah untuk menutupi kulit mulusnya.
Dan suara derap sepatu yang memantul mengisi sepanjang jalan. Tas seberat kurang lebih dua kilogram bergerak ke atas bawah mengikuti gerakan badan sang pemilik. Jarak antar pelajar yang berlalu hanya hitungan senti yang menimbulkan dorongan pada bahu baik dari sisi kanan maupun kiri.
Semua ini pasti sebab manusia yang kini berdiri di depan gerbang yang memasang wajah galaknya. Membuat para siswa yang tadinya berjalan begitu malas menjadi berjalan terbirit-birit.
Diantaranya ada gadis selalu saja tersungkur karena aksi dari pelajar lainnya. Dia terlalu lemah untuk seukuran teman-temannya.
"Aduh." siapa yang peduli dengan pekikan kecil itu. Gadis itu terjatuh dengan kedua telapak tangan dan lututnya sebagai tumpuan. Terasa panas akibat gaya gesek yang dia timbulkan. Dia mencoba untuk bangkit. Dengan energi yang dia dapatkan dari sarapan sepiring nasi dan telur ceplok gadis itu bangkit.
Buurrggh.
Sudah dibilang dia terlalu lemah.
"Hari ini bukan hari Senin tahu?!" Keluh Sani pada para siswa yang melintas.
Bagai semut yang menyerbu butiran gula yang berceceran di meja dapur, keadaan di depan sekolah sekarang.
Hari ini memang bukan hari Senin. Melainkan Jumat. Tapi pada persekian detik saat inilah yang membuat mereka terburu-buru. Para pemangsa murid telat sudah siap di tempat.
___
Nampak seorang gadis di sebrang jalan meremas dua tali yang memanjang vertikal melewati bahunya. Dia membasahi bibirnya. Tubuhnya berdiri tak tegap—punggungnya sedikit membungkuk. Ujung pinggir sisi dalam kedua pasang sepatunya menginjak satu sama lain secara bergantian. Ragu.
Sesaat kemudian dia menunduk dan menghela nafas.
"Atau mungkin tidak akan pernah berubah," ujarnya tiba-tiba kemudian menyebrang berjalan menuju gerbang sekolah barunya.
Abu-abu mewakili seorang Elina. Bagai janur kelapa yang bergoyang mengikuti sapuan angin yang mencolek begitulah pemikirannya.
Tampilan dari depan sekolah barunya kurang lebih seperti sekolah pada umumnya. Gerbang yang menjulang ke atas serta dinding besar dan tinggi mengelilingi bangunan sekolah.
Langkahnya terhenti melihat bagaimana cara para siswa tersebut secara berdesakan berjalan masuk lorong kelas. Matanya tertuju pada gadis yang baru saja tersungkur. Gadis tersebut mencoba berdiri dan lagi-lagi terjatuh di lantai.
Sikap simpatinya membuahkan hasil. Dia menghampiri gadis malang itu. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri melihat kehadiran para siswa tersebut yang masih memadati jalan dan menunggu sampai renggang.
"Sepertinya sarapanmu kurang banyak," dia mengulurkan tangannya yang disambut hangat oleh Sani. Si gadis yang malang.
"Kau salah besar. Ini karena pria tua yang berlagak sangar di sana," Sani menunjuk pria yang ia maksud dengan dagunya lalu menepuk-nepuk roknya.
"Kamu murid baru?"
"Iya, ngomong-ngomong, sebaiknya lorong menuju ke kelas harus diperluas. Bagaimana menurutmu?"
"Ah, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Bisa jadi pria tua itu menghukumku sekarang. Aku duluan,"
"Oh, ya. Hati-hati!"
KAMU SEDANG MEMBACA
figuran
Teen FictionSetiap orang memiliki perannya masing-masing dalam kisahnya. Tapi banyak yang tidak menyadari atas perannya. Karena terlalu fokus pada kisah orang lain. Bukan pada kisahnya sendiri. . Sani tertidur terlalu lama. Hingga berada dalam mimpi orang lain...