Chapter 1 : Firasat.

55 3 2
                                    

Jakarta || 16 Oktober 2028

Sebuah cahaya yang menyilaukan menerpa wajah Alissya, matanya terbuka perlahan karena rasa silau yang tak terhankan.

Dia menarik selimut keatas kepalanya untuk menutupi wajahnya dari terpaan sinar matahari tersebut yang mampu menembus celah-celah gorden jendelanya.

'Kring-kring-kring' suara bising itu keluar dari jam weker dan berhasil membangukan gadis itu.

Membangunkannya dari tidur panjang, setelah lelah berkerja semalaman suntuk di sebuah toko baju yang tak jauh dari rumahnya.

"Aduh berisik banget si." Ucapnya setengah sadar.

'Kring-kring-kring' Tangannya mencoba bergerak ke atas meja di samping tempat tidurnya, mencari-cari ke beradaan jam weker itu, tapi Ia tak berhasil menemukan keberadaan jam itu.

'Kring-kring-kring' jam weker itu terus berbunyi dan akhirnya membuat Alis harus menurunkan selimut yang menutupi wajahnya, untuk melihat posisi jam weker yang tak bisa di temukan oleh tangannya.

Mata masih setengah terbuka dan nyawanya masih setengah terkumpul, saat dia menyadari jarum jam sudah menunjuk pukul 7.30.

"Astaga?! Kesiangan!" Serunya sambil cepat-cepat menjauhkan selimut yang masih memeluk erat tubuhnya.

Dia berlari kencang ke arah kamar mandi tanpa membereskan selimut yang sudah terlempar ke samping tempat tidur dan jam wecker yang terlempar ke bawah meja.

Dengan cepat tangannya meraih handuk yang tergantung di pintu kamar mandinya, lalu masuk ke dalam kamar mandi tanpa menoleh ke belakang lagi.

"Cuci muka ajalah." Ucap Alis yang sudah panik karena kelas pagi akan di mulai 30 menit lagi dan dia baru saja bangun dari tidurnya.

Dengan sigap tangannya meraih facial wash dan juga sikat gigi, kepanikan membuat tubuhnya berkerja lebih cepat dari biasanya.

5 menit kemudian dia keluar dari kamar mandi dan matanya langsung tertuju pada kondisi kamar yang terlihat seperti 'kapal pasca perang'.

"Ya Ampun, mati Aku." Ucapnya di iringi ekspresi kesal yang mungkin membuat mu tertawa, jika melihatnya secara langsung.

Ekspresi itu muncul dengan sangat amat natural, saat dia melihat selimut yang tercampak ke samping kasur, jam weker yang jatuh ke bawah meja, jaket dan sepatu yang berserakan di atas kasur dan terakhir adalah kertas gambar yang berserakan di penjuru ruangan.

Hidup sendirian di rumah sebesar ini memang suatu tantangan tersendiri untuknya, apalagi sudah 5 tahun setelah kepergian orang tuanya, membuat dia harus berkerja ekstra dan tak punya waktu banyak, hanya untuk sekedar membereskan kamar dan rumah yang berantakan. Hanya sesekali dia membereskan semuanya.

"Argh. Nanti sajalah Aku bereskan kamarnya, lagian juga tidak akan ada orang, selain diriku yang masuk kesini."

Dia kemudian mencoba mengacuhkan kondisi kamarnya yang kacau dan melihat ke dinding tempat poster-poster tentang Juventus berada. Sebuah senyum kecil terbentuk di bibirnya, hanya dengan melihat wajah Del Piero yang menurutnya adalah pria paling kharismatik di dunia.

***

Setelah selesai memakai kaus polos hitam dan celana jeans riped berwarna senada yang membuat kakinya terlihat jenjang dan indah, Dia langsung menguncir rambutnya yang berantakan.

Dia juga tidak berias seperti kebanyakan mahasiswi di kampusnya, dalam fikirannya, tujuan berkuliah adalah untuk mengali ilmu sebanyak-banyaknya, jadi dia selalu cuek dengan penampilan dan lebih mementingkan pendidikan yang akan di dapatkan, ketimbang perhatian dari para mahsiswa yang hanya melihat wanita dari kecantikan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Game Of DeathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang