°'°

37 2 0
                                    

"siapa nama lo?"

"kau tak perlu tau"

"kenapa?"

"karna itu tak perlu"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Arla, sayang. Bangun, kau tak mau tertinggal di hari pertama les bahasamu bukan?" suara lembut, bak nyanyian pengantar tidur itu berkoar memenuhi gendang telingaku.

Ah, sungguh aku benci hari ini. Hari libur pertama bulan ini yang harus aku isi dengan arahan papa yang terdengar paling menyebalkan di telingaku. Seharusnya aku masih mengantuk, jika tirai berwarna abu gelap itu tak di buka oleh bidadari yang menawan di sana. Jam berapa ini? Matahari sungguh membenciku.

"hey, kelas akan di mulai setengah jam lagi" jelas mama. Hey, sejak kapan mama tau jadwal kelas bahasaku.

"mama, menelfon bibi Han untuk memberitahu putrinya bahwa kau ikut kelas bahasa juga" ucap Mama sambil menarik selimutku paksa dan melipatnya rapi.

Ah, sial

"sudah di bilang, Arla mau berangkat sendiri, Ma" ucapku lirih karna tenggorokanku kering, itu sudah pasti. Setiap pagi aku akan seperti ini. Bermanja ria dengan suara kebanggaanku ini.

"dan kau mau membiarkan gadis manis itu berjalan sendiri di kota ramai, celingak celinguk tak tau jalan? Hah?"

Diam dengan ekspresi datar adalah jawaban yang tepat.

"dasar kau, cepat mandi sana! Mama yakin anaknya bibi Han adalah anak yang rajin dan pintar, bukan seperti kamu" ucap Mama sembari berjalan keluar.

"kurang apa sih, murid terpintar di sekolah ini akan selalu terlihat bodoh di depanmu, Ma" segera aku berjalan ke kamar mandi, sedikit melirik ini sudah jam setengah 8. Benar saja kelas akan mulai setengah jam lagi.

Aku tidak akan sekolah, ini hanya kelas bahasa yang di adakan salah satu komunitas universitas di daerahku. Sebenarnya aku tak begitu tertarik. Tapi, saat papa melihat brosur dan mendengar cerita dari tetangga sebelah yang masih beberapa hari menghirup udara disini bahwa, anaknya juga akan mengikuti kelas ini dalam rangka mengisi libur musim dingin. Itu membuatnya antusias menyuruhku untuk ikut. Dan berhubung aku adalah anak baik dan penurut, Arlatta Imanuel ini akan pergi kesana. Mengikuti perjalanan bosan menatap pembimbing amatir, mahasiswa yang masih berlatih dan jangan lupa, gadis itu. Ah, sepertinya aku akan menjadi baby sister. Aku pasti akan mendengar suara cemprengnya yang berkata.

"ta? Udah mau sampe belom? Kamu yakin kita jalan gini, kayanya masih jauh deh. Gimana kalo kita naik bus kota? Mama kamu kemaren bantuin aku buat e-card bus. Di kotaku yang dulu, aku tak memakai seperti ini, jadi bisa kita mencobanya? Kau mau mengajariku kan?" ucapnya sambil menyodorkan ponselnya ke depan wajahku.

Apa apaan ini?

"sebentar lagi sampai" ucapku datar.

"beneran? Okedeh, kita coba lain kali. Oh ya, kau tau. Kota ini sungguh berbeda. Kotaku yang dulu memang tertinggal jaman" cerocosnya tak ku hiraukan.

Apa ini? Jadi, gadis ini akan mengajaknya jalan jalan. Alasan mencoba bus kota. Enak saja.

"oh, gedung itu. Bukankah itu sama dengan gambar gedung yang ada di brosur" ucapnya kelewatan antusias.

AR°'°MATE Young (shortstory)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang