***Aku mengerjap sambil meraba sakelar lampu. Masih terlalu dini untuk memulai pagi mendekap gigil. Teringat akan janji pada si sulung bahwa hari ini akan memasak sarapan mewah demi merayakan ulang tahunnya.
Si Sulung, Haris yang kini menginjak usia lewat balita, telah paham tentang sebuah perayaan istimewa saat hari di mana dia diazankan pertama kali. Tentu dari teman-teman sepermainan yang acap kali mengundangnya makan nasi uduk dengan taburan bawang goreng dan irisan telur dadar kecil-kecil. Tak lupa, orang tua mereka membungkus dengan plastik bermotif balon warna-warni, bermacam jajanan lima ratusan demi memeriahkan hari jadi sang buah hati.
"Mak ... kata Mamak, Haris lahir pas Bapak ikut lomba panjat pinang tujuh belas Agustus. Besok kan tujuh belas Agustus. Haris pengen ulang tahunan kayak temen-temen."
Lembut, kuelus rambut ikal sulung kesayangan. Tak sanggup rasanya jika harus jujur memberitahu bahwa tak ada uang tersisa di laci meja. Suamiku entah kapan akan pulang dari kota, bekerja sebagai buruh bangunan di sana. Ayah mereka hanya bisa menjahit, tak ada lahan untuk bertanam padi. Sedang di desa sedang musim paceklik, tak ada warga yang berniat menjahit baju, untuk makan tiga kali sehari saja susah.
Gusar kubuka tempat beras, hanya menyisakan satu mug bekas kaleng susu beras berkutu. Sambil menanaknya di tungku kayu, aku berandai-andai sebuah keajaiban. Bahwa akan ada sesuatu yang bisa kupersembahkan pada sulung bermata bintang kesayangan di hari istimewanya ini.
Aku tersenyum bahagia menatap piring di hadapan.
"Bismillahirrahmanirrahim." Dengan semangat menyuapi kedua anakku, Haris enam dan Fatir yang masih empat tahun.
"Enak, Mak!" ujar si Sulung.
"Iya. Cepat habisin sebelum telur dadarnya dingin." Tanganku tak lepas mengelus perut yang kian membuncit. Lima bulan usia kandungan.
Sebutir telur yang kutemukan di halaman belakang, pasti milik bebek tetangga yang lupa pulang ke kandang, mampu kusulap menjadi sarapan mewah di hari spesial ini. Hari ulang tahun dan Hari Kemerdekaan, merdeka dari penjajah, kata mereka. Lupa tentang penjajah yang lebih kejam, ya, kemiskinan.
Dengan air mata berlinang, aku mengelus pipi jagoan satu persatu. Lekas kuhapus sebelum anak-anak tau."Mak. Sini Haris suapin. Dede bayi belum makan." Sebuah tangan mungil menyodorkan sepotong telur dadar ke mulutku. Entah kenapa, airmata ini tumpah lagi tak terbendung.
"Mamak kenapa nangis?" Haris mengusap air mataku.
"Haris sayang sama Mamak? Jadi anak yang shaleh, ya, Nak." Aku merengkuh keduanya dalam pelukan. Buah hati harapanku.
"Iya, Mak. Haris sayang sama Mamak. Mamak jangan nangis lagi, ya."
***
Aku memiliki tiga orang putera. Haris, Fatir, dan Akmal. Kami hidup dengan sederhana tapi mereka tumbuh menjadi anak baik dan penuh perhatian. Ayah mereka selalu mengatakan bahwa laki-laki jangan malu membantu pekerjaan rumah. Walau tak punya anak perempuan, aku tak pernah kewalahan dengan pekerjaan rumah. Keempat lelakiku selalu siap membantu.
Apalagi saat Haris dan Fatir telah lulus SMA dan memiliki pekerjaan. Semua kebutuhan hidup kami juga biaya sekolah Akmal ditanggung oleh mereka.
Suatu hari, seorang gadis, tetanggaku datang bersama ibunya, mengaku sedang hamil anak Haris. Bagai petir di siang bolong, aku mendengar kabar itu.
"Cakap kau! Betol yang dibilang si Dini itu?" Haris bergeming. Wajah suamiku merah padam. Aku meminta Dini dan ibunya pulang dan memberi kami waktu untuk memutuskan.
***
Tak ada pesta, Haris akhirnya menikahi Dini di kantor KUA. Aku dan suamiku sempat tak percaya Haris bisa melakukannya. Ia tumbuh menjadi pemuda tampan nan cerdas. Banyak sekali wanita yang mendekatinya.
Namun setau kami, ia hanya memiliki seorang pacar sejak SMA, Fitri namanya. Ia sering main ke rumah. Membawakan bolu pisang kesukaan ayahnya Haris. Kami sangat menyukainya. Ia terlihat ayu dan lemah lembut. Kulitnya seputih pualam. Menantu idaman, kata Ayah Haris saat itu.
Sedangkan Dini, gadis itu tinggal di dekat rumah kami. Tidak cantik, pun tidak menarik, juga perangainya sedikit sombong dan angkuh yang paling membuatku tak suka.
Apa mau dikata, setelah menyangkal beberapa saat, akhirnya Haris memutuskan menikahinya. Yang kudengar dari Haris, ia tak sadarkan diri saat melakukannya. Seseorang mungkin telah mencampurkan alkohol ke dalam minumannya. Saat itu acara ulang tahun seorang tetangga. Kata Haris, saat tersadar, ia telah berada di sebuah rumah kosong bersama Dini yang tengah tertidur dipelukannya tanpa sehelai benang.
Almarhum ayah Dini yang seorang mantan lurah, membuat ia terbiasa mendapatkan rasa hormat yang berlebih. Dulu mungkin keluarganya kaya, tapi sekarang kehidupan kami tak jauh berbeda. Hanya saja, ayahnya sempat membangun rumah yang paling megah di desa, sebelum akhirnya harus pensiun karena stroke dan meninggal beberapa bulan setelahnya.
***
Entah kenapa Dini mulai terlihat membenciku. Sejak awal menikah, mereka tinggal bersama kami.
Fatir memutuskan bekerja di luar kota. Entah karena malu dengan ulah abangnya atau risih seatap dengan kakak ipar di dalam rumah kecilku. Memang rumahku hanya ada dua kamar. Kamar depan biasanya dipakai ketiga anakku, aku dan suamiku di kamar belakang.
Walau sedikit menanggung malu, kami tetap menerimanya sebagai menantu. Setiap pagi ia selalu mual dan jarang keluar kamar. Akulah yang memasak dan mengerjakan semua pekerjaan rumah. Haris masih bersikap biasa. Dia tetap memperhatikan aku, Ayah dan adiknya. Namun lama kelamaan dia mulai berubah.
Setiap gajian biasanya ia selalu memberi sebagian gajinya untuk kami. Cukup untuk biaya hidup sebulan. Ayah Haris yang hanya seorang penjahit tua mulai kehilangan pelanggan yang memilih membeli pakaian siap pakai di toko, tak mampu lagi mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Namun belakangan ini ia hanya memberi sedikit sekali. Hanya cukup untuk makan. Sedang kebutuhan yang lain membuatku mau tak mau meminta lagi padanya.
"Ibu kan tau. Mas Haris ini udah nikah. Jadi gak bisa ngasi kalian kayak dulu lagi. Dia harus tanggung jawab sama istri dan calon anaknya ini," ujarnya sambil mengelus perutnya yang mulai buncit.
"Tapi Akmal butuh biaya. Dia sebentar lagi masuk SMA. Jahitan Ayah semakin sedikit. Dari mana Mamak dapet duit?" Aku berusaha menjelaskan keadaannya pada anak sulung kesayanganku itu. Namun ia bergeming dan terus menunduk.
"Ya itu bukan urusan kami. Selalu aja ngerusuhi rumah tangga anaknya. Apa gak bisa biarkan kami hidup tenang? Dikit-dikit minta duit. Emangnya kami ATM berjalan apa?"
Ia menarik tangan Haris masuk ke dalam kamar. Aku hanya bisa menghela napas sambil melirik Ayah Haris yang mulai berkaca-kaca.