***
"Udah, Mak. Sabar ya. Besok Ayah cari kerja di luar," ujarnya sambil berjalan ke kamar mandi.
Sepuluh menit berlalu, tapi suamiku belum juga keluar kamar mandi.
"Yah. Lama kali di dalam? Yah!" panggilku sambil menggedor pintu.
"Groookkk ... grookkk."
Terdengar seperti suara dengkuran halus dari dalam.
"Yah! Ayah!!"
Airmataku luruh. Firasat buruk langsung menjalari otakku. Akmal yang baru pulang bermain bola langsung ikut panik. Ia mendobrak pintu dan terlihat suamiku sedang terkapar tak sadarkan diri.
"Ayah!!!" pekik Akmal yang membuat tetangga berdatangan.
Akmal mendobrak pintu dan terlihat suamiku sedang terkapar tak sadarkan diri.
"Ayah!!!" pekik Akmal yang membuat tetangga berdatangan.
"Jangan diangkat dulu. Dia kena stroke ini. Tunggu sampai sadar sebentar lagi," ucap salah seorang tetangga. Entah siapa, aku hanya bisa berteriak memanggil nama suamiku sambil menangis histeris.
Benar saja beberapa menit kemudian, tangannya mulai bergerak. Perlahan ia membuka mata.
"Ayah!!! Bang Haris! Tolong bantu pindahin Ayah dari sini," pinta Akmal kepada abangnya yang terus menempel pada sang Istri di sudut dapur.
Beberapa tetangga memapahku yang tak lagi sanggup berdiri keluar dari kamar mandi untuk memudahkan pengangkatan suamiku.
Haris menatap istrinya seolah meminta izin. Dengan wajah sedih atau pura-pura sedih, Dini mengangguk. Segera ia bersama Akmal dan beberapa tetangga lain membawa suamiku ke kamar.
"Aku gak papa. Makasih udah pada nolongin. Aku mau istirahat dulu," ujar suamiku terbata. Satu per satu tetangga pulang. Tinggal Aku, Haris dan Dini di sini, Akmal pergi menjemput bidan untuk memeriksa suamiku.
Kami tak membawanya ke rumah sakit. Kata orang, orang yang kena stroke tak boleh di-infus. Entah itu mitos atau fakta.
Aku masih terus menangis sambil mengganti pakaian suamiku yang basah. Tak bisa kubayangkan hidup tanpa dia. Aku butuh teman bicara. Berbagi masa tua. Saat anak-anakku telah dewasa dan memiliki keluarga, hanya dialah temanku berbagi suka duka.
"Ayo, Mas. Aku capek. Ayah udah gak kenapa-kenapa kok!"
Dini menarik tangan Haris yang tengah memijat kaki ayahnya. Keterlaluan sekali perempuan ini, pikirku.
"Kau kan bisa ke kamar sendiri, Dini. Pergilah sana istirahat. Biarkan Haris di sini." Suaraku mengeras. Semakin didiamkan, menantuku satu itu semakin menjadi.
Dengan wajah masam, dia berlalu sambil membanting pintu. Aku menghela napas.
"Kenapa si Dini kayak gitu kali, Haris? Gak kau ajarin dia sopan sedikit sama orang tia? Kau tau Ayah kayak gini gara-gara sikap dia tadi." Haris yang kuajak bicara menatapku penuh penyesalan.
"Maafin Haris, Mak ... Yah. Mungkin itu bawaan hamil."
"Mak. Ini Bang Fatir telepon. Mana yang sakit, Yah? Ini Akmal bawa bidan biar Ayah diperiksa dulu ya," ujar Akmal setelah menyerahkan gawainya padaku.
"Wa'alaikumussalam, Nak. Iya tadi Ayah jatuh di kamar mandi. Ini lagi diperiksa bidan."
" ... "
"Iya, gak di infus kok. Mau ngomong sama Ayah? Sebentar ya."
Aku menempelkan benda persegi panjang itu di telinga suamiku. Lalu beranjak ke dapur untuk membuatkan minum Bidan.
Di dapur, aku bertemu Dini yang sedang membuat susu untuk Ibu hamil. Dia tidak menyapaku bahkan mungkin menganggapku tidak ada.