1

58.4K 5.7K 176
                                    

Berlari kecil, aku melewati luasnya pelataran parkir gedung megah bertingkat empat yang kini menjadi tempat kerjaku. Sebuah nama brand elektronik terkemuka menempel kokoh pada dinding bangunan modern tersebut. Ketika melewati pintu kaca, seorang petugas keamanan menanyakan keperluanku. Aku segera menunjukkan padanya kartu identitasku.

Di dalam gedung terpampang brand produk yang dihasilkan perusahaan, terbuat dari neon terang dan menempel pada tembok. Di bawahnya, nampak beberapa tulisan second brand dari perusahaan ini. Aku mengulas senyum pada sosok yang menempati meja resepsionis. Dia membalas senyumku dengan anggukan. Kami sudah bertemu tiga hari yang lalu.

Kunci kesuksesan adalah percaya diri. Tanpa ragu, aku berjalan ke sisi tengah gedung, menaiki lift dan segera menuju lantai tertinggi bangunan ini—ruangan direktur tentu saja.

Aku menoleh pada sebuah meja milik sekretaris yang belum ditempati. Senyum puasku tersungging karena aku berangkat cukup pagi. Segera kumasuki ruangan Dahlan Harimurti—sang direktur—dan berusaha menyiapkan keperluan pria itu—seperti yang diajarkan. Akan tetapi, selain tak ada siapa pun di sini, segalanya tampak rapi. Mungkin office girl/boy sudah membersihkannya.

Jantungku seakan melompat saat pintu terbuka, sosok dewa—karena manusia mungkin nggak ada yang setampan dia—masuk, lalu menutup pintu di belakangnya. Ekspresi paras tampan itu mengeras, menatapku dengan tatapan tajamnya, juga berdiri kaku seperti melihat hantu.

Aku berusaha profesional, mengurai senyum hangat—meski hati ingin memaki tamu nggak sopan ini—lalu menyapa. "Selamat pagi, Pak. Mohon maaf, sepertinya Pak Dahlan belum sampai kantor. Bapak bisa menunggu di luar."

Meski tak kentara, aku dapat menangkap ekspresi terkejut pria itu. Sayangnya, aku nggak sempat mengantisipasi keterkejutanku sendiri saat dia berteriak—memanggil sekretaris, "Tika!"

Tarzan wanna be!

Yang dipanggil tak kunjung datang, dia pun berteriak lagi—kali ini sambil membuka pintu. "Tika!"

"Saya, Pak." Terdengar jawaban dari seorang wanita yang tergopoh-gopoh masuk ruangan. Wanita dengan tubuh berisi dan perutnya membuncit itu melihatku sekilas.

Mas Tarzan—sebut saja demikian—menatap wanita di sampingnya. "Kenapa kamu biarkan penyusup masuk kemari?" tekannya.

Penyusup, katanya? Aku lewat pintu depan dengan menunjukkan kartu identitas sebagai karyawan perusahaan. Menyusup mah kalau aku lewat gorong-gorong.

"Itu ... dia karyawan baru, Pak," terang Tika dengan takut-takut. Aku khawatir dia akan kontraksi setelah ini.

"Panggil HRD. Sekarang!" bentak si Mas-nya dengan tak sabaran sampai membuat Tika berjengit.

Wanita itu berbalik badan dan berjalan cepat ke mejanya, kemudian melakukan penggilan sesuai apa yang diperintahkan Tuan Marah-Marah. Sementara itu, pria yang terlihat membenciku dari jaman Majapahit berjalan ke arahku lalu mendekati meja direktur. Detik itu juga aku mulai takut. Jangan-jangan aku yang salah masuk. Sial sekali jika aku yang salah.

Dengan berani, aku memperkenalkan diri. "Saya bukan penyusup, Pak. Saya asisten pribadinya Pak Dahlan dan yakin bahwa ini ruangan direktur seperti yang beliau tunjukkan tiga hari yang lalu."

Pria itu memandangku dengan tatapan meremehkan. "Masa?" Alisnya naik. Dia terlihat sexy dengan ekspresi seperti itu, seriusan. Hanya saja, situasi saat ini masih gaje dan rasanya nggak tepat untuk mengagumi ketampanan seseorang.

"Dia udah meninggal. Kalo mau jadi asisten pribadi, datengin aja makamnya."

*Versi lengkap sudah tersedia dalam bentuk novel dan e-book di Google Play. Versi Wattpad hanya untuk spoiler. Jadi hanya cuplikan-cuplikan saja.

 Jadi hanya cuplikan-cuplikan saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dealing with the BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang