Kedap kedip cahaya merah mengalihkan sepasang iris kecoklatan Elise yang sedari tadi terpaku ke papan tulis di hadapannya. Tangannya bergerak mengambil BlackBerry Curve yang seakan berteriak dari balik kotak pensilnya, memberi sebuah notifikasi akan pesan yang masuk dan menunggu untuk segera dibaca. Beruntung Sir Thomas tengah sibuk membaca buku yang sepertinya dipenuhi oleh soal-soal olimpiade Matematika dan sepenuhnya mengabaikan suasana kelas yang telah kehilangan kekondusifan suasana belajarnya.
Tapi sebenarnya Elise tak peduli bahkan jika Sir Thomas tengah mengajar saat ini. Guru Matematikanya ini memang tipikal yang tak mempermasalahkan penggunaan handphone di kelasnya selama konsentrasi murid-murid yang lain tak terganggu.
Gurat merah tipis memberi rona pada wajahnya kala ia menyusuri kata demi kata yang terpampang di layar ponselnya. Tak lama berselang, jemarinya sibuk bergerak mengetikkan kata-kata balasan sebelum menutup tampilan aplikasi BlackBerry Messenger pada smartphone-nya dan kembali memusatkan atensi pada penjelasan Sir Thomas yang entah sejak kapan sudah kembali menerangkan materi pelajaran hari ini: Suku Tengah Baris Geometri.
Cih! Elise merutuki perlombaan drama keparat yang menjadi penyebab ketidakhadirannya pada pertemuan Matematika hari Sabtu yang lalu dan membuatnya terlihat seperti orang bodoh hari ini. Tak banyak penjelasan Sir Thomas yang dapat diterima olehnya yang telah ketinggalan materi satu pertemuan. Merasa percuma memaksakan diri, gadis dengan nama keluarga Maywood itu akhirnya memutuskan untuk mengabaikan soal-soal yang baru saja diberikan Sir Thomas pada mereka dan mengejar ketinggalannya dengan cara menyalin catatan milik Lucy, teman sebangkunya; tepat saat cahaya merah itu kembali menarik perhatiannya.
Seukir senyum tipis dibentuk oleh bibir tipisnya saat membaca deretan kata yang ditampilkan. Sensasi rona yang menjalari pipinya sudah tak asing lagi ia sejak seminggu yang lalu, kendatipun ia masih belum bisa membiasakan diri dengan keadaan itu. Detak jantung yang sepintas menambah kecepatannya juga menjadi reaksi spontan yang tak bisa ia kendalikan setiap kali membaca pesan yang masuk ke ponselnya—
—dengan nama “Mark Keegan” tertera sebagai pengirim pesan bernuansa roman yang telah memenuhi ponselnya selama seminggu belakangan.
Kekasih? Entahlah.
Mark memang menyatakan cinta pada gadis yang berusia dua tahun lebih tua darinya itu. Tepat seminggu yang lalu. Dan Elise yakin dia membalas pernyataan cinta Mark dengan kata ‘maaf’ yang seharusnya mengindikasikan sebuah penolakan.
Benar, ‘kan? Secara tidak langsung sebenarnya dia menolak Mark, ‘kan?
Lalu apa arti dari reaksi Elise tiap kali ia membaca pesan dari Mark? Apa makna yang terkandung dalam setiap panggilan dan kata sayang yang kerap terucap dalam setiap pesan yang terkirim? Dan bagaimana Elise bisa menjelaskan interaksi mereka yang sarat akan rasa protektif dan posesif, yang justru menjadi ciri khas interaksi sepasang kekasih?
Elise hanya bisa mendecih sebagai tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh batinnya. Dalam hati ia merutuki sensasi panas yang kembali menyapa wajahnya. Selalu saja begini setiap kali Mark melintasi pikirannya. Baik itu siluet maupun hanya gaung namanya.
“Brengsek!”
Antara sadar atau tidak, Elise mendecihkan kata umpatan itu dalam gumaman. Ia begitu larut dalam pikirannya tentang Mark sehingga tak mengacuhkan Lucy yang tengah memberikan pandangan penuh tanya ke arahnya. Hanya sebentar; Lucy kembali berkutat dengan soal-soal Matematika yang diberikan setelah menyadari bahwa Elise takkan memberi tanggapan berarti, bahkan jika Lucy bertanya sekalipun.
Pikiran Elise membuka lembaran memori seminggu yang lalu: saat Mark mengucapkan kata cinta padanya. Waktu itu Elise hanya bisa terpaku dalam diam, membiarkan keheningan merajai suasana sebelum logika mengambil alih kesadaran dan menuntun kata 'maaf' terlontar keluar dari mulutnya.
Sejenak, Elise merasa dia telah melakukan hal yang tepat. Sudah sepantasnya dia menempatkan pendidikan sebagai prioritas utama. Gadis yang memiliki ketertarikan yang sama kuatnya dengan Mark pada animasi Jepang itu juga telah berjanji pada dirinya sendiri bahwa hubungannya dengan Anthony yang telah berakhir dua bulan yang lalu adalah hubungan asmara terakhir yang ia jalin di masa SMA-nya ini. Elise sadar; sebagai siswa yang tak lama lagi akan meninggalkan bangku Sekolah Menengah Atas, ia harus bisa mengesampingkan segala hal remeh seperti roman picisan agar bisa melanjutkan jalinan kisah pendidikannya sebagai seorang mahasiswa ; bukan lagi siswa.
Terlepas dari goresan takdir yang masih menjadi misteri, anak sulung dari dua bersaudara itu yakin bahwa hidupnya takkan berakhir setelah 17 tahun berjalan. Karenanya, Elise masih ingin meniti jalan menuju masa depan yang gemilang dan mengukir senyum bangga di wajah kedua orangtuanya kala ia berhasil menginjakkan kaki di titik puncak kesuksesan hidupnya.
Semua argumen yang ditekankan oleh logikanya jelas-jelas menuntutnya untuk memberikan penolakan mentah-mentah pada pernyataan cinta Mark. Menjawab pertanyaan ‘would you be mine?’—yang terucap setelah tiga kata ‘I love you’ disampaikan dalam balutan kalimat-kalimat pengakuan akan afeksi yang dirasakan oleh sang adik kelas—dengan kata ‘tidak’; sebagaimana yang biasa ia lakukan terhadap beberapa pemuda yang juga sempat menyatakan cinta sebelum Mark.
Namun sekali ini logika tak sepenuhnya mampu mengendalikan situasi. Hati kecil tak dapat dibohongi, tak pula bisa membohongi. Walau tak tahu sejak kapan, Elise menyadari bahwa dirinya juga merasakan hal yang sama dengan Mark: cinta.
Elise tak ingat kapan terakhir kalinya logika dan nurani bergejolak sedemikian hebat di dalam dirinya. Membuatnya terlihat sebagai sosok tanpa pendirian di hadapan Mark. Hingga akhirnya mereka berdua sepakat untuk menjalani sebuah hubungan tanpa status yang jelas: lebih dari sebatas teman namun belum pula resmi dikatakan sebagai sepasang kekasih.
Tak ada yang tahu perihal hubungan yang telah mengikat mereka berdua. Dan mungkin lebih baik begitu. Mark mengerti akan keinginan Elise untuk tetap fokus mempersiapkan diri untuk ujian akhir yang tak lama lagi akan ia hadapi.
Tak lama lagi …
Itu artinya, dalam kurun waktu yang singkat ini pula Elise akan meninggalkan Northway High—meninggalkan Mark yang masih harus mengenyam pendidikan di sana selama satu tahun lagi.
Cahaya merah dari ponselnya menarik Elise kembali ke realita. Membuyarkan kilas balik yang sedari tadi diproyeksikan oleh alam bawah sadarnya.
I love you.
Kalimat itu menjadi isi pesan yang dikirim Mark padanya. Dan kalimat itu pula yang diketikkan oleh Elise sebagai jawaban.
Biarlah mereka menjalani hubungan tak resmi ini sampai tiba saatnya Elise Maywood resmi menjadi seorang mahasiswa. Setelahnya, entah hubungan ini akan langsung diresmikan ataukah menunggu sampai setahun lagi, semuanya terserah pada Mark.
- Fin -

KAMU SEDANG MEMBACA
Phone, Text, Love.
Teen FictionElise, personifikasi sempurna gadis-gadis remaja yang tengah kasmaran pada umumnya. Rajutan kasih yang belum mendapat status jelas tak menjadi masalah, pun suasana kelas tak menjadi halangan bagi jantung untuk berdebar kencang dan jemari untuk menge...